Untuk siapa pula aku memanjat pohon kelapa itu selain diriku dan keluarga? Sebutir dua butir yang berhasil kuturunkan adalah demi mengisi perut anak-anakku. Aku tak peduli apakah kelapa itu langsung di makan, atau dijual dahulu lalu beli makan, atau diolah lulu dijadikan makan, atau apapun itu, pastinya memang untuk isi perutku dan keluarga.
Aku tak peduli betul lah, jika pohon kelapa itu bukan milikku. Bodoh kali kalau harus kupikirkan itu. Siapa yang memikirkan perutku? Toh bukankah kelapa-kelapa itu adalah milikku seluas mata memandang? selama bisa dipandang, bisa pulalah ku ambil kelapa itu.
Jangan sok lah! bukankah semua orang memang hidup untuk hidup? Mencuri, berkhianat, mendukung yang buruk, diam pada yang benar, adalah satu - dua -tiga contoh dari tindakan-tindakan orang untuk dapat bertahan hidup. Jadi jangan larang aku mengambil kelapa-kelapa itu karena kau tak memberiku makan. Toh aku juga berusaha memanjat pohon kelapa itu, nyawa pula taruhannya.
Heran aku memang, pencuri kelapa seperti aku ini selalu dimusuhi. Koruptor malah dijadikan ketua BKM, beberapa tahun lalu pengedar narkoba bahkan dijadikan sekretaris BKM dan Sapi Kurbannya menjadi rebutan ketika idul adha. Jadi toh, tak usah urusi bagaimana aku mendapatkan kelapa jika kalian toh masih makan sapi kurban dari pengedar narkoba.
Orang-orang memang bertahan hidup, dan mencoba mengamankan posisi hidupnya. Aku sejak awal sudah tak aman, pekerjaanku saja pun tak aman. Itu ada guru yang diam saja melihat keburukan guru lain toh masih dianggap guru padahal bukankah guru adalah : penerang dalam gulita?
Lalu, apa yang diteranginya jika demikian itu?
Aku pernah bertanya langsung tentang hal itu dan mereka jawab dengan Dilema etika dan pun bujukan moral. Oh mak, pandai kali mereka membuat alasan. Jadi masalah utama dari pekerjaan kotorku mencuri kelapa ini adalah : Aku tak pandai membuat alasan.
Komentar
Posting Komentar