Belajar Menjadi Guru (Kembali) dari Novel Guru Aini


Guru Aini, sebuah karya dari Adrea Hirata yang sangat pantas untuk dibaca para guru.


Belakangan ini, aku kehabisan stok bacaan. Kau tahu, belakangan aku seperti tidak mensyukuri hidup dengan berharap agar Tuhan memberikanku rejeki (dalam bentuk angka) yang banyak. Seolah aku lupa pada teori bahwa rejeki itu bukan hanya semata-mata tentang angka melulu. Aku lupa bahwa sehat adalah rejeki, anak yang sehat adalah rejeki, orang tua yang masih utuh adalah rejeki dan entahlah, terlalu banyak rejeki yang bisa di tuliskan dan diyakini diberikan oleh Allah untuk kita syukuri.
Kau tahu kawan, belakangan aku benar-benar seperti orang yang tak tahu diri. Bahkan beberapa kali aku sempat mengutuki Tuhan yang melahirkan aku miskin, menjadikan aku seorang guru yang tidak berpenghasilan besar. Gilanya, aku pernah marah pada Tuhan karena menjadikan aku guru sehingga aku tidak bisa korupsi. Bayangkan kawan, betapa gilanya aku belakangan ini.
Dan kau tahu kenapa aku sampai segila itu? Oh, ketika mendengar alasannya kau pasti akan tertawa. Aku segila itu berharap diberikan rejeki (dalam angka) itu hanya karena Honda ADV 150 yang keren itu. Oh Tuhan, hari ini aku sadar betapa bodohnya aku. Betapa gilanya aku.
Aku bahkan sampai menahan-nahan diri untuk tidak membeli buku baru hanya karena demi bisa menabung dan membeli Honda ADV itu padahal stok bacaaanku sudah habis. Ini tidak lazim, dahulu aku menghabiskan banyak uang untuk membeli buku dan berani mengklaim bahwa satu-satunya hartaku adalah buku. Tapi sekarang aku menghindari pembelian buku dengan harapan bisa membeli Honda ADV?
Tapi Allah memang selalu maha baik. Dia memutar balikkan hati lantas etah bagaimana aku memutuskan mengambil tiket kereta api malam senin kemarin. Mungkin sudah pukul 11 malam ketika istriku kuminta membayar pesanan KAI Accesku melalui Mobile bankingnya. Aku berangkat, tujuanku tak lain adalah Gramedia Gajah Mada, tempat yang selama kuliah kujadikan sebagai tempat berkeluh kesah. Tempat yang kujadikan sebagai tempat pengaduan, ya. Dahulu aku sering sekali mengadu pada buku-buku.
Seperti biasa, aku kalut jika sudah di toko buku. Pasalnya sepele, terlalu banyak buku yang ingin kubeli dan berbanding terbalik dengan uang yang ada di kantong. Aku bahkan menelpon istriku untuk meminta izin membeli buku-buku, maklum uang yang di ATMku adalah miliknya. Dia sebenarnya izin-izin saja, aku yang mencoba untuk tahu diri.
Di gramedia, aku tidak menangis seperti aku dahulu yang menangis ketika membaca novel De conspiracou miilik Afifah Afra. Kali ini aku mencoba menghindari tangisan dengan tidak membaca buku-buku di gramedia meskipun aku memiliki cukup banyak waktu.
Sejak dari rumah, aku sudah menyadarkan diri untuk membeli dua buku saja yaitu Lampuki dan Tanah Surga merah milik Arafat Nur. Belakangan aku memang sedang mencoba untuk memahami cara Arafat Nur menuliskan kritikan. Rasaku, belakangan styleku pada novel lebih bersemangat ketika menceritakan tentang kritikan dan novel-novel Arafat Nur yang menceritakan konflik Aceh itu sangat pantas untuk dipelajari.
Tapi aku ternyata tak bisa menahan. Adrea Hirata, penulis buku yang super luar biasa itu ternyata baru saja menerbitkan buku. Aku berulang kali mencoba untuk mengalihkan pandangan dari deretan Novel baru karya Adrea Hirata itu. Tapi akhirnya aku menyerah, aku turun dari lantai dua gramedia, masuk ke mesin ATM dan mengambil tambahan uang. Buku itu dan satu buku Kang Abik ku beli. Total empat buku, kesemuanya novel.
Aku sampai di stasiun sekitar pukul setengah lima sore. Jadwal kereta Api menuju Tanjungbalai telah berubah. Kereta Api malam Medan-Tanjungbalai berangkat pukul 19.00 WIB. Aku memutuskan untuk membaca Karya Adrea Hirata itu “Guru Aini” judulnya.
Kawan, ini buku yang sangat luar biasa. Adrea Hirata melalui novel ini benar-benar berhasil mengaduk-aduk perasaan kita. Memberikan penjelasan dan pengertian kepada kita tentang integritas, tanggung jawab, dan idealisme. Apalagi pendekatan yang dilakukannya adalah tentang guru. Kau bisa bayangkan bagaimana perasaanku yang juga seorang guru ini tercabik-cabik.
Di halaman 36 saja aku sudah menangis. Lantas terpingkal-pingkal berkat lawakan receh yang dituliskan oleh Adrea Hirata. Lawakan yang sepertinya tidak dibuat dengan sengaja. Ah, entahlah. Aku benar-benar beruntung memutuskan pergi ke Medan, menemukan buku ini dan membacanya. Dari buku ini aku kembali belajar banyak hal. Sungguh, banyak sekali.
Novel ini berkisah tentang Desi Istiqomah, seorang guru Matematika yang penuh dengan idealisme. Tidak menyerah untuk mencari siswa terbaik sepanjang sejarah dan untuk dididik dengan sepenuh hati. Buku ini berkisah tentang Aini, seorang anak yang tidak tahu matematika dan selalu takut pada guru Desi. Aini akhirnya memutuskan untuk belajar matematika, menghadap Guru Desi, mencintai Kalkulus, hanya demi agar masuk Fakultas kedokteran untuk mengobati ayahnya yang sakit.
Receh memang, ceritanya sederhana sekali.  Tapi ketika kau memutuskan untuk membacanya, maka kau akan menemukan betapa sastra telah membesarkan penulis buku ini. Betapa sasra telah menunjukkan kekuatannya. Betapa diksi yang dirangkai dengan cinta itu telah menghasilkan sebuah karya yang luar biasa. Lagi, setelah Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karvop, sebelas patriot, sirkus pohon dan Guru Aini ini, aku tetap iri pada orang-orang seperti Adrea Hirata yang aku jamin telah menulis dengan cinta. Aku yakin, ia tidak sedang berdalih dengan niat apapun dalam dunia kepenulisannya kecuali dengan niat tulus untuk kebaikan semata.
Dalam novel ini, kau juga akan menemukan kalimat-kalimat kritikan kepada negeri ini. Tidak banyak mungkin, tapi tajam dan langsung mengena. Bapak/Ibu guru, bacalah novel ini. Dan mengertilah, mungkin kita semua memang harus menjadi seperti Guru Desi. Yang benar-benar mencintai perkerjannya, mendalami pekerjaanya, idealisme dan jujur pada pekerjaanya sebagai seorang guru.
Dengan novel ini, kita mungkin bisa belajar untuk menjadi “guru kembali”. Tentang bagaimana seharusnya guru bersikap, tentang bagaimana seharusnya guru berbuat. Tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru untuk para peserta didiknya.
Aku? Oh Tuhan, ironi sekali memang. Kalian tahu, tahun ini aku mendapatkan siswa yang begitu sulit untuk dikendalikan. Aku sempat pesimistis untuk melakukan apapun dan apatis pada mereka. Ku biarkan saja mereka seperti itu. Tidak peduli pada apapun yang terjadi pada mereka.
Membaca buku Guru Aini ini setidaknya mampu memunculkan kembali, harapanku untuk peduli pada mereka. 

Medan-Tanjungbalai

9/ Maret 2020


Eza Budiono.

Komentar