IRONI


IRONI

Ironi memang, hidup kadang memang begitu menyebalkan. Aku ingin cerita, itupun jika kau ada wakt udan ada mau untuk mendengarkannya.

Jadi begini, Tahun Pelajaran 2019/2020 ini aku mendapatkan 34 orang siswa yang hampir semuanya adalah anak-anak luar biasa. Sejak kelas sebelumnya, mereka telah memiliki banyak kasus. Beberapa kali guru kelas V mereka juga sampai menangis dan menyerah untuk mengurus mereka ini. Dan ketika aku menjadi gurunya di kelas VI, benar-benar tidak ada perubahan.
Kebesaran mereka yang pertama adalah persengkongkolan jahat. Aku mengatakannya demikian karena jika ada satu orang saja yang buat masalah maka satupun dari anak-anak ini tidak akan ada yang menyampaikannya. Anak-anak perempuan dan anak-anak baik tidak akan berani mengatakannya karena jika berani menceritakan tentang ini maka siap-siap untuk dihantam, dikeroyok, dan dipukuli. Gila, ini mafia sekali.
Aku membenahi hal itu. Aku memancing emosi mereka, akhirnya persengkongkolan jahat ini mulai berkurang. Sudah terdapat beberapa anak yang berani mengadukan tindakan-tindakan jahat dari teman-temannya yang lain. Urusan ini selesai, setidaknya begitulah yang kupikir.
Tapi kenakalan anak-anak itu tidak menurun. Aku sendiri mulai bingung. Pendekatan demi pendekatan sudah kulakukan. Marah, nasihat, sampai beberapa anak nakal itu sengaja ku ajak duduk-duduk minum es atau makan Miso di siang hari pun sudah pernah ku lakukan. Tapi ternyata apapun tidak berubah. Aku menarik diri, mungkin memang akula yang tak pernah becus mendidik mereka.
Salah satu kejahilan mereka sejak mulai masuk ke kelas 6 adalah selalu terlambat masuk setiap kali selesai istirahat. Satu dua aku maafkan, tiga empat aku nasihati dan seterusnya hingga akhirnya aku pernah marah kepada kepada mereka dan menghukumnya berdiri di luar kelas. Tapi, kalian tahu apa yang dilakukan mereka di luar kelas saat ku hukum? Mereka tertawa, cekikikan, saling dorong, seolah tidak mengerti bahwa dirinya sedang dihukum dan seolah tidak menghargai aku si pemberi hukuman.
Aku berang saat itu. Satu orang anak ku tarik, aku memukulnya, dia menangis, hingga hari itu anak itupun berubah. Dia membenciku.
Kenakalan anak-anak ini untuk selalu “sengaja” terlambat ini tidak berubah. Aku yang berubah. Setelah hukuman itu kuberikan, anak yang sempat ku pukul itu akhinrya setiap hari mencari masalah. Menggangu teman dan seterusnya. Aku menccoba menasehati, dia tidak peduli hingga akhinyra aku tambah berang dan dia memanggilku dengan sebutan hantu serta mengajakku untuk berkelahi. Oh Tuhan, kalian tahu betapa besarnya badanku dan betapa kecilnya badannya?
Aku marah, meminta kepala sekolah untuk memindahkan anak tersebut. Murid itu hingga hari ini masih di kelasku.
Ironi memang, sungguh ironi. Sejak hari itu aku tidak terlalu lagi peduli pada siswa-siswaku. Ketika mereka dengan sengaja terlambat masuk, aku hanya bilang besok jangan buat lagi. Besoknya, ketika mereka melakukannya lagi, aku juga melakukan hal yang sama. Mereka tidak pernah lagi ku kerasi, aku juga mulai mengajar asal-asalan. Sungguh, asal-asalan.
Di momen-momen ini pulalah aku sempat di “tawari” untuk pindah dari guru. Betapa senangnya hatiku saat itu. Tapi nyatanya, aku tetap tidak diizinkan oleh “entah siapa” untuk tetap menjadi guru. Biarlah, dan entahlah, aku tidak cukup pandai menceritakan bagian itu.
Semalam, aku membaca buku Guru Aini. Idealismeku untuk menjadi guru yang peduli pada peserta didik tumbuh kembali. Aku tidak boleh abai pada mereka, mereka punya hak untuk menerima pembelajaran dan sikap terbaik dariku. Aku bersemangat sekali, ingin menjadi Guru Desi. Ingin  memiliki murid seperti Aini. Ah, euporia semangat itu sampai kubawa-bawa dalam mimpi.
Hari ini aku masuk ke dalam kelas dengan diri lebih baik dan lebih siap. Kami hari ini belajar matematika karena memang tinggal matematikalah pelajaran yang belum kami selesaikan. Aku membuka kelas dengan memastikan bahwa setiap peserta didiku telah siap menerima pembelajaran. Aku membuka kelas dengan meminta mereka mengangkat pulepn dan buku mereka menunjukkan bukti bahwa mereka memang membawanya. Aku tersenyum, bertanya pada mereka tentang sarapan mereka hari ini.
Kami belajar, aku menulis beberapa contoh, membaca bersama soal cerita yang ada di papan tulis. Membimbing cara berpikir mereka untuk mengerti persoalan yang ditampilkan oleh contoh-contoh saoal tadi. Ku bombing mereka membaca diagaram lingkaran, persen dan derajat. Semua berjalan lancar, semua mulai terlibat. Satu persatu secara bergantian nama mereka ku sebut. Ketika kuberikan soal, Masyaallah. Dari 34 siswaku, hanya empat orang yang tidak mendapatkan nilai seratus. Aku bahagia, ini membanggakan.
Selepas istirahat, guru PJOK masuk ke dalam kelas. Aku pergi ke sekolah Ibu Rismaniar Marpaung (Calon Ketua Umum PGRI Tanjungbalai) untuk membahas aduan-aduan guru honor yang mungkin tidak bisa lagi kami bendung. Disana berulang kai aku melirik jam, jatahku hanya 70 menit, dua Jam pelajaran PJOK.
Aku pulang sebelum jam PJOK berakhir, pukul 10.30 aku sudah ada disekolah. Anak-anak luar biasaku itu asik duduk-duduk di depan perpustakaan. Mengapa sunyi? Dalam hatiku. Ternyata teman-teman mereka, kebanyakan perempuan sudah ada di dalam kelas. Mereka sedang mengkipasi diri karena baru saja melakukan pelajaran PJOK.
Aku bertanya, sudah masuk kata Pak Aman? (Pak Aman Guru PJOK)
“Sudah Pak” Jawab mereka serempak.
Kubiarkan anak-anaku itu menghilangkan keringat di dalam kelas. Namun anak-anak luar biasaku tak kunjung masuk ke dalam kelas. Dua, lima, sepuluh menit, bahkan lebih mereka tidak masuk ke dalam kelas. Padahal tadi mereka melihat aku masuk ke halaman sekolah dan melihat aku masuk ke dalam kelas?
Aku mulai marah, semangatku hilang seketika. Aku mencoba berbaik sangka bahwa mungkin mereka sedang mendapatkan tugas dari guru PJOK. Aku menghubungi guru PJOK. “Sudah dari tadi disuruh masuk, Pak” katanya.
Aku adalah guru peduli hari ini. Aku tidak mungkin membiarkan mereka dalam kekeliruan seperti ini. Aku menutup pintu, mengeluarkan tas mereka. Setengah jam lagi istirahat kedua Maksudku, biar mereka sadar akan kesalahannya lantas setelah istirahat kedua mereka kembali ku masukkan ke dalam kelas.
Tapi apa yang dilakukan mereka?
Teman, aku sungguh patah hati.
Di luar kelas mereka menyanyi-nyanyi, tertawa, menjerit, mencoba menganggu kami yang ada di dalam kelas. Aku beri peringatan pertama, kedua, ketiga, mereka tetap tidak peduli kawan. Aku memilih diam. Niatku memasukkan mereka setelah istirahat kedua tidak kulakukan. Salah satu diantara mereka mengatakan “Kato Nenekku, yang mengeluarkan kami bisa jadi orang kayo” dan dia juga mengatakan “Fuck You semua ini”. Aku diam, masih menahan diri.
Lantas, tiba-tiba mereka menyanyi kembali. Mengeraskan suara mereka. Aku marah, ku lemparkan Tupperwareku yang berisi air minum penuh ke pintu. Suaranya keras sekali. Lantas aku berdiri, membuka pintu sambil berkata “Tak Tahu Diri Kalian Ya!” mereka berlari berhamburan.
Ironi kawan, aku malam tadi begitu semangat untuk memberikan diriku kepada anak-anakku hari ini. Kami sudah baik-baik saja sejak pagi, mereka berhasil mendapatkan nilai yang baik hari ini. Aku seharian tidak ada marah dan selalu senyum. Entahlah, mungkin aku yang salah karena mengambil sikap langsung mengeluarkan tas mereka. Tapi sikap itu ku ambil karena memang mereka sudah terlalu terbiasa melakukan kejahilan yang sama. Tidak pedui pada guru, tidak menghargai sama sekali.
Hari ini, idealisme mengajarku yang sudah ku bangun setelah semalam memabca buku guru Aini itu langsung runtuh. Bukankah lebih baik aku tidak peduli saja pada sikap dan tindakan yang mereka buat??

Komentar