AIR MATA
ARYO UNTUK PALESTINA
Seperti biasa, bulan Ramadan tahun ini
pun cuaca tetap panas terik. Ini sudah puasa ke 17 namun sekalipun belum ada
tanda-tanda hujan akan membasahi bumi. Banyak orang yang mengeluh dengan panas
ini seakan lupa bahwa dalam setiap lelahnya panas di bulan Ramadan selalu saja
ada pahala dan berkah yang membersamainya.
Aryo tidak termasuk sebagai orang yang
mengeluh dengan panas Ramadan ini. Lelaki jangkung yang kurus itu tetap bekerja
dan berpuasa seperti biasanya. Namun sayang, sejak seminggu ini jasa tambal ban
miliknya sunyi. Orang jarang sekali keluar di tengah terik panas seperti ini
dan mengakibatkan sepeda motor tidak ada yang kempes atau bocor.
Namun Aryo tidak pernah
mempermasalahkan itu. Baginya rezeki itu bukan seperti sandal jepit yang bisa
tertukar. Bisa jadi Allah tidak memberikan ia rezeki yang cukup dari jasa
tambal ban miliknya namun diberikan rezeki dari tempat yang lain. Bagi Aryo,
rezeki itu bukan sekedar angka. Kesempatan untuk berdekatan dengan Allah adalah
rezeki yang tiada terkira.
Benar, sambil menunggu pelanggan Aryo
menghabiskan waktunya untuk beribadah. Melaksanakan amalan-amalan soleh dan
mengisi hari-harinya dengan kegiatan bermanfaat. Hingga Ramadan ke 17 ini, Aryo
sudah berhasil khatam Alquran tiga kali. Dia menargetkan bisa khatam Alquran 6
kali di bulan Ramadan tahun ini.
Aryo tidak hanya membaca Alquran. Dia
juga membaca buku-buku agama yang sudah dipinjamnya dari Ustaz Ismail. Buku-buku
itu dibacanya sembari sesekali mencatat hal-hal penting di buku
catatannya. Baginya, Ramadan adalah kesempatan untuk menebus banyaknya dosa
yang telah dia lakukan selama ini. Ramadan adalah kesempatan untuk
berlomba-lomba mengejar ketertingalan dirinya pada agama. Maklum saja, Aryo yang
sekarang berumur 25 tahun itu baru hijrah tiga tahun belakangan.
Sejak ayahnya meninggal tiga tahun yang
lalu, Aryo berubah. Dia mendatangi seorang ustaz dan mengatakan ingin
hijrah. Perlahan tapi pasti Aryo memang berubah. Aryo yang dulunya jarang sekali
salat sekarang sudah salat berjamaah lima waktu di masjid atau musala. Aryo
yang dulu malas sekali belajar sekarang rutin datang ke kajian-kajian dan
mencatat semua pesan yang disampaikan oleh ustaz dengan baik. Dulu, dia yang
begitu malas untuk melakukan sesuatu dan bergantung hidup pada ayah dan ibunya
kini menjadi sangat rajin. Dia tahu, dia terlalu terlambat memulai kebaikan ini
maka oleh sebab itu dia harus mengejarnya.
“Assalamualaikum, Aryo.”
“Waalaikum salam, ustaz.
Darimana?” Sambut Aryo sembai menyalam seorang lelaki yang datang ke tempat
tambal bannya.
“Ini, tadi dari mengisi kajian ibu-ibu. Qodarallah ban motor bocor.”
“Innalillah, jadi ustaz tadi mendorong
dipanas-panas hari begini?”
“Aduh, tak apalah sekalian olahraga dan
bisa bertemu dengan antum!”
Aryo langsung cekatan memperbaiki ban
Ustaz Ismail yang bocor sembari terus ngobrol dengan Ustaz Ismail.
“Gimana Aryo, banyak yang datang?”
“Alhamdulillah ustaz, tak banyak tapi
ada. Ana buka sejak jam tujuh, ustaz pelanggan ana yang ke lima!”
“Loh, sedikit berarati Aryo. Ini sudah
lepas zuhur kan?”
“Ah, sedikit pelanggan berarti banyak
lembaran Alqurannya Ustaz, jadi sama saja!”
“Masyaallah, antum ini buat ane malu
saja. Makin hari makin luar biasa tauhidnya kepada Allah.”
“Amin, namanya juga belajar dari Ustaz
Ismail. Hehe”
“Jadi bagaimna, Syawal ini
menikahkan? Mau dicarikan yang bagaimana?”
Aryo tersenyum mendengar kalimat dari
Ustaz Ismail. Ini sudah entah keberapa kali Ustaz Ismail menawarkan kepada Aryo
untuk menikah. Aryo jarang sekali menjawab jika sudah persoalan ini. Ibunya juga
sudah sering memaksa Aryo untuk menikah. Setiap kali pembahasan mulai mengarah
ke arah pernikahan, Aryo pasti mengelek dengan lembut. Tapi kali ini, di Ramadan
ke 17 ini dia mungkin harus menjawab kepada Ustaz Ismail.
“Afwan ustaz, bukan tak ingin menikah. Ane
ini tinggal hanya berdua dengan ibu. Ibu tidak berpengahasilan, beliau hanya
membuka warung kecil jajanan anak-anak di depan rumah kami. Ane ini hanya
tukang tambal ban. Ane masih menabung Ustaz. Mudah-mudahan tabunganya segera
memadai karena bagaimanapun menikah tetaplah harus menggunakan uang ustaz. Kalau
pun ane bisa dapat akhwat yang mau meringankan maharnya pasti tentunya tetap
harus pakai uang juga kan ustaz.”
“Memangnya tabungan antum sudah ada
berapa?”
“Masih tujuh juta ustaz, Kalau nanti
genap sepuluh ane akan menghadap ke ustaz untuk dicarikan akhwat yang
cocok. Hehe.”
“Asal jangan dijadikan alasan saja ya
Akhi. Ada orang yang menikah tanpa pegangan uang sedikitpun. Antum harus tetap
yakin pada Allah bahwa pernikahan itu karena izin dari Allah. Bukan karena uang
sudah ada.”
“Iya Ustaz, insyaallah.”
“Oiya, bagaiman persiapan kita
menyambut syeikh dari Palestina itu nanti di Masjid Arrahmah?”
“Insyaallah Ustaz, sampai saat ini
semua persiapan sudah dilakukan, kita tinggal berdoa meminta kepada Allah agar
acara kita nantinya lancar dan aman ustaz.”
Ustaz Ismail beranjak pergi
meninggalkan Aryo begitu ban sepeda motornya selesai diperbaiki. Aryo
menawarkan agar jasa yang diberikkanya kepada Ustaz Ismail tidak usah
dibayar. Aryo bersikukuh ingin ikut serta dalam pekerjaan dakwah yang dilakoni
oleh Ustaz Ismail. Jika dia mengratiskan perbaikan sepeda motor tadi pastinya
dia telah ikut andil dalam urusan Ustaz Ismail ketika menyampaikan dakwah
dipengajian ibu-ibu sebelumnya. Tapi Ustaz Ismail malah marah dan memaksa Aryo
menerima uang dari jasa yang dia berikan. Ustaz Ismail besikukuh pula untuk
membantu semaksimal mungkin membantu Aryo untuk segera dapat menikah.
Malam Ramadan yang ke 20, Masjid
Arrahmah lebih ramai dari biasanya. Hari ini, Salat Isya dan Taraweh akan
diimami langsung oleh seroang syeikh yang datang dari Palestina. Nantinya
Syeikh dari Palestina tersebut juga akan memberikan ceramah agama sekaligus
menceritakan kondisi saudara-saudara muslim di Palestina sana.
Aryo berada di shaff pertama. Dia sudah
memperhitungkan bahwa Masjid Arrahmah akan dipadati oleh jamaah. Maka begitu
selesai berbuka puasa dengan ibunya di rumah, Aryo langsung menuju ke Masjid
Arrahmah. Menunggu sambil melanjutkan bacaan Aqurannya.
Malam itu Masjid Arrahmah diselimuti
seuasana haru. Jamaah menangis ketika Syeikh Palestina mengambil Qunut Witir
dan mendoakan saudara-saudara muslim di Palestina, Syiria, Myanmar dan semua
tempat di semua waktu. Aryo juga menangis, airmatanya tak tertahankan mengalir
dari kedua bola matanya. Entah kenapa memang, di Ramadan kali ini Aryo begitu
sensitif, ia sering menangis mengingat dosa-dosanya.
Hari ini Aryo menangis, saudaranya di
Palestina sana tidak makan dan kesulitan air minum. Jangankan untuk
tidur, untuk beribadah saja pun begitu susahnya. Semua orang bungkam, termasuk
dirinya. Dia menangis ketika menarik ke dalam hatinya tentang peran apa yang
sudah diberikannya untuk membantu saudara-saudaranya di Palestina sana. Dia
menangis, mengingat betama lemahnya dia, betapa tidak bergunanya dia ketika
tidak bisa melakukan apapun untuk saudara-saudaranya di Palestina.
Selepas Salat, semua orang kembali
menangis ketika video kondisi terbaru tentang muslim Palestina di tampilkan.
Para relawan mencoba untuk membuka hati para jamaah agar menyadari bahwa kita
harus turun tangan membantu saudara-saudara muslim di Palestina. Aryo menangis,
berulang kali menyeka airmatanya yang kian membanjir. Bahkan Aryo semakin
terisak ketika dikatakan bahwa Muslim Palestina membutuhkan air minum ketika
Israel membuang limbah pabrik mereka ke sungai-sungai di dekat pemukiman.
Aryo membisu. Tangisnya semakin
menjadi-jadi ketika relawan bertanya tentang sumbangsih yang bisa diberikan oleh kaum muslimin. Aryo
menangis menyadari bahwa dirinya tidak memiliki apapun untuk diberikan.
Aryo bangkit dari duduknya, dia masuk
ke kamar mandi masjid lalu bersandar di dindingnya sambil menangis. Airmatanya tak lagi tertahankan. Isak tangisnya kian terdengar. Hatinya benar-benar seperti telah tersayat sembilu, patah hati menyadari betapa tidak bergunanya dia untuk saudara-saudaranya di Palestina, Negeri Nabi yang terjajah itu. Perlawanan dalam hatinya kian kuat. Dia
tak tahu harus memberi atau tidak, uang yang dia punya hanya yang tujuh juta
itu. Jika itu dikurangi lagi, maka kapan pula dia akan menikah? Batinnya terus
bergejolak.
“Satu tangki air isi sebesar ini
bapak/ibu seharga tujuh juta rupiah. Tujuh juta itu akan menyelamatkan banyak
anak-anak Palestina. Menyelamatkan saudara-saudara kita yang disiksa oleh
musuh-musuh Allah.” Ujar relawan lagi yang semakin membuat hati Aryo kian sembilu.
Aryo keluar dari kamar mandi,
menghidupkan sepeda motor butut peninggalan ayahnya dan mengendarainya ke
rumah. Aryo meminta uangnya yang disimpan pada ibunya.
“Bu, Aryo ingin memberikannya pada
saudara kita di Palestina.”
Ibunya menangis, memberikan uang yang
selama ini disimpan dibawah kasur.
Malam itu Aryo menangis, tentang betapa lemahnya
dirinya, tentang betapa tak bergunanya dirinya bagi saudaranya di Palestina. Menikahnya, mungkin akan masih ditunda. Tapi siapa pula yang tahu takdir Allah?

Komentar
Posting Komentar