MEMENUHI PANGGILAN TUHAN


MEMENUHI PANGGILAN TUHAN


Sungai di kota ini tidak indah, kumuh, penuh sampah berserakan. Jika saja sungai ini lebih kecil, pasti tentu sampah akan menjadi pemandangan utamanya. Beruntung, luas dan panjangnya sungai ini membuat sampah seolah tak ada, padahal itu semua semu. Jika kita turun ke bawah jembatan dan menyisir pinggiran sungai, pasti kita akan berpikir dua kali untuk menjadikan sungai ini sebagai salah satu destinasi wisata.

Jembatan yang menjadi raja dari sungai ini juga sebenarnya tidak terlalu membanggakan. Namanya sebagai jembatan terpanjang di provinsi membuatnya menjadi tampak seolah lebih kokoh. Padahal jembatan ini tidak ada apa-apapnya, struktur bangunannya kacau balau, nampak betul bahwa pembangunan jembatan ini telah dikorupsi di sana-sini. Bayangkan saja, truk kecil lewat saja sudah membaut jembatan ini goyang. Aku yakin suatu hari jembatan ini akan runtuh dan menjadi berita serta bencana nasional. 

Maaf, aku bukan mendoakan, tapi aku sedang mengemukakan pendapatku saja. Belum hanya karena struktur bangunan jembatan itu yang membuat aku yakin suatu hari jembatan ini akan runtuh. Tapi ulah manusia yang dilakukan di atas jembatan ini juga membuat aku yakin suatu hari Tuhan akan meruntuhkan jembatan itu. Kalian tahulah, jembatan yang tidak ada lampunya itu dijadikan apa setiap malam oleh kaum muda tak tahu diri, atau manusia panggilan yang berpikir hidup hanya tentang uang saja. Suatu hari murka Tuhan pasti akan turun.

Tapi sudahlah, aku tidak ingin cerita tentang itu. Aku juga bukan orang yang baik. Bahkan mungkin Tuhan sudah mengazabku lebih dahulu daripada orang-orang yang mangkal di jembatan panjang itu. Benar, aku juga tidak terlalu baik, aku bukan orang saleh yang mendirikan perintah Tuhan dengan baik. Maka kita tidak usah membicarakan tentang kelakukan manusia di atas jembatan itu. Meskipun sekarang aku sedang duduk di atas jembatan yang setiap kali truk lewat pasti goyang-goyang ini.

Sudah lebih dari satu jam aku duduk di pinggir jembatan. Menduduki kursi plastik yang disediakan oleh pedagang jus yang berdagang tepat di atas jembatan. Memang hebat betul pedangang-pedagang ini, jembatan seperti sudah menjadi milik mereka sendiri. Aku saat ini sedang duduk di atas kursi yang dihadapkan ke arah sungai yang sebenarnya kursi ini membuat jembatan menjadi lebih sempit. Lantas kenapa aku bilang mereka hebat? Tentu saja itu hebat, tak satupun pihak berwenang berani menegur mereka. Ingat ya, tak satupun, apalagi walikota, mana berani dia. Takut kalau citra yang dibangunnya menjadi jelek dan dianggap semena-mena.

Ah, kalian ini, aku menjadi tidak fokus untuk bercerita. Kumohon jangan pancing aku untuk mengkomentari kerja walikota dan para pejabat. Aku tak mau setelah ini mereka semakin membenciku. Bayangkan saja, di kota ini ada pejabat yang membenciku padahal kami tidak pernah duduk bersama. Dia hanya mendengar cerita tentang aku dari orang-orang, lalu menyimpulkan begitu saja. Pejabat seperti apa itu? Bodoh sekali jadi pejabat masih termakan berita dan kabar burung seperti itu.

Aih, Kenapa harus cerita ke pejabat lagi, sih?
 Baik, kita fokus. 

Sudah lebih dari satu jam aku duduk menghadap ke sungai yang lebarnya lebih dari satu kilo meter ini. Magrib baru saja berlalu setengah jam yang lalu dan aku tidak mendirikan perintah Tuhan, mengabaikan panggilannya begitu saja dan tidak peduli pada apa yang terjadi setelah ini. Toh, aku ke tempat ini juga untuk mengutuki Tuhan. 

Duduk di tempat ini membuat aku merasa paham dengan cara berpikir orang-orang yang sering berkunjung ke jembatan dan menyaksikan sungai kebanggan kami ini. Memang, kapal-kapal ukuran sedang yang lalu lalang, ditambah dengan angin sepoi-sepoi yang tak berhenti berhembus, debur ombak yang muncul setiap kali kapal lewat serta anak-anak yang berenang mengejar-ngejar kapal lewat menjadi pemandangan yang sangat menenangkan. 

Memang, walikota ini tidak tahu melihat peluang, seharusnya dia mengembangkan sungai ini untuk menambah pendapatan asli daerah. Tapi jangankan itu, janji-janji ketika dia kampanye dulu kini hanya tinggal janji. Memang sakit para pejabat yang ingkar pada janji-janji kampanyenya dahulu itu, tapi lebih sakit lagi masyarakat yang masih mau memilihnya. Oh Tuhan, ayolah, kita fokus sebentar. Hari ini aku ingin bercerita tentang aku, bukan tentang pejabat pun pula walikota. Mereka terlalu kerdil untuk kita bicarakan.

Pandanganku masih menatap ke sungai ketika langit semakin gelap. Kupikir setalah ini pemandangan sungai akan suram karena langit telah gelap. Tapi ternyata, sungai menjadi tampak lebih mempesona. Lampu-lampu rumah warga yang berada di pinggir-pinggir sungai membuat sungai menjadi tampak lebih indah. Ini pulalah yang membuat aku mengerti mengapa pemerintah tidak menggusur rumah-rumah penduduk yang ada di daerah aliran sungai itu. Ternyata, mereka memiliki kontribusi untuk membuat sungai menjadi indah dan enak dipandang ketika malam hari.

Seumur hidupku, ini pertama kalinya bagiku melakukan ritual menatap sungai ini. Aku sudah tak tahu lagi harus pergi kemana. Kota ini padat penduduk, dimana-mana orang ramai. Aku yang sedang mencari tempat tenang untuk menenangkan diri tidak punya pilihan selain duduk menatap sungai di jembatan ini. Dahulu aku benci jembatan ini, tapi hari ini ketika aku memutuskan untuk menatapnya maka pandanganku berubah. Aku menyadari bahwa jembatan ini mungkin menjadi tempat yang menenangkan bagi sebagian orang. 

Sekarang aku malah berterima kasih kepada para pedagang yang menjajakan dagangannya di atas jembatan ini. Dengan adanya mereka, ritual menatap sungai menjadi tambah santai karena ada cemilan dan minuman yang juga turut bisa di nikmati. Awas saja kalau nanti walikota menggusur mereka, aku akan berdiri paling depan membela mereka. Setidaknya sampai lobi-lobi berhasil, lah.

Kenapa aku bercerita tentang ketenangan? 

Sebenarnya dari awal aku ingin bicarakan tentang itu, tapi kau yang memancingku untuk membicarakan tentang pejabat dan mengkomentari orang-orang. Kau yang salah, jangan pancing-pancing aku untuk bicarakan hal-hal seperti itu. Kau tahu sendiri, buku-buku yang selama ini selalu kubaca arahnya selalu ke arah-arah itu. Pergerakan, politik, keadilan dan kesejahteraan. Alah, lama-lama jijik pula aku mendengar kata keadilan dan kesejahteraan ini.

Baiklah kawan, aku hanya sedang patah hati. Itu lah yang membuat aku duduk di jembatan dan memandang sungai ini. Gila, kau tahu, urusan cinta lebih rumit daripada urusan politik dan lainnya. Konflik paling panjang adalah yang cinta menjadi alasannya. Dan sekarang, aku benar-benar berada dalam konflik yang gila yang membuat hatiku hancur berkeping-keping. Tak usah sok menebak, aku akan memberitahunya, iya, aku ditinggal orang yang kucintai. Patah hati, bukan, hancur berkeping-keping.

Sudahlah, itu Tuhan memanggil lagi. Pokoknya hatiku ini tidak akan pulih dan aku menyalahkan Tuhan atas semua ini. Tapi begitupun, panggilan dia kali ini tidak akan aku abaikan. Aku membayar pesanan jusku, tidak mungkin aku memenuhi panggilan Tuhan dengan membuat rugi pedangan jus kan? 

Sungai sedang deras mengalir, gelap, jika saja ada orang yang jatuh akan sulit untuk mencarinya. Apalagi jika orang itu tidak pandai berenang seperti aku. Aku harus memenuhi panggilan Tuhan, dasar sungai mungkin menjadi tempat yang baik untukku yang sedang patah hati, terluka dan membutuhkan ketenangan ini. Besok, jembatan ini akan menjadi tambah terkenal karena ada satu orang remaja laki-laki yang mati bunuh diri. Setidaknya mereka tidak tahu, aku hanya memenuhi panggilan Tuhan saja.

Mohon maaf kepada para pedagang, aku yang memenuhi panggilan Tuhan ini mungkin membuat kalian besok dilarang untuk berdangan.



Senin, 8 Juni 2020
Bang-U Coffee Shake


Eza Budiono
 


Komentar