NALA
EZA
BUDIONO
TERINSPIRASI
DARI LAGU NALA-TULUS
Gadis
kelahiran sembilan puluh dua itu sedang mematut-matutkan dirinya di depan
cermin. Namanya Nala, malam ini dia punya janji temu dengan seorang pria yang baru
dikenalnya dua bulan yang lalu. Nala bingung, ini pertemuan spesial pertamanya dan
rasanya semua pakaian menjadi tidak pantas. Berulang-ulang dia bergaya, memilih
baju yang terpantas, sungguh tak sabar dia untuk menunggu malam tiba.
Nala
memutuskan untuk mengenakkan dres berwarna merah bermotif bunga-bunga. Ini pakaian
yang pas untuk warna kulitnya yang sedikit gelap. Rambutnya diikat ke atas
seperti sanggul menunjukkan leher jenjangnya yang memesona. Terakhir, Nala
melengkapi penampilannya dengan anting berwarna putih untuk siap memasuki fase baru
dalam kehidupannya.
Sebelum
pukul tujuh malam Nala telah selesai dengan dirinya. Dia menunggu lelaki itu menjeputnya.
Nala berulang kali melongokkan kepala ke jendela, suara sepeda motor milik
lelaki itu tak kunjung didengarnya. Nala khawatir, tapi keyakinannya pada
laki-laki itu masih lebih besar, dia yakin laki-laki itu akan tiba dan masuk seutuhnya
dalam kehidupannya.
Tujuh
tepat, pesan singkat diterimanya. Kabar dari yang ditunggu jadi tak bisa
bertemu.
Nala
menunduk, dia kembali masuk ke dalam kamarnya. Ada kekecewaan yang membuncah
dalam hatinya, pun air mata akhirnya tumpah sedikit. Benar memang, harapan dan
ekspektasilah yang membuat manusia menjadi hancur. Ini seharusnya menjadi
pengalaman pertama bagi Nala yang ternyata harus gagal bahkan sebelum dimulai.
Nala
pigur sederhana, tak banyak sekelilingnya.
Sejak
kecil Nala memang penyendiri. Dia berteman dengan semua orang, menyapa dan
bercengkrama dengan wajar. Tapi Nala tidak memiliki seseorang yang spesial
seperti sahabat atau orang-orang yang menghabiskan waktu dengannya cukup lama. Nala
berjalan dengan keadaan yang juga terus tumbuh, semua orang adalah kenalan yang
harus diperlakukan baik oleh Nala. Meskipun begitu Nala yakin suatu hari nanti akan
ada seseorang yang siap untuk hidup dengan kesunyiannya itu.
Nama
laki-laki itu Tulus. Dia rekan kerja yang baru saja masuk ke kantor dua bulan
yang lalu. Nala yang satu divisi ditugaskan untuk mengenalkan kantor kepadanya.
Tulus adalah laki-laki baik yang periang, dia pandai sekali memancing
percakapan dengan Nala. Nala yang tak banyak bicara beberapa kali harus mengeluarkan
kalimat-kalimat panjang akibat pertanyaan Tulus. Nala tahu Tulus bukan tidak mengerti
dengan semua pertanyanya itu, Nala tahu Tulus mencoba untuk merajut percakapan
yang baik antara mereka berdua.
Hubungannya
dengan Tulus berlanjut ke dunia maya. Setiap hari mereka chatingan dengan
pembahasan-pembahasan sederhana. Pernah suatu kali Tulus mengirim pesan dan
bertanya “Menurutmu, mengapa bulan harus ada di malam hari dan matahari di
siang hari.” Nala menjawab pertanyan itu dengan baik bahwa pertanyaan itu
terbalik. Siang hari ada karena matahari dan malam hari tercipta karena adanya
bulan.
Pertanyaan
itu menjebak, Tulus mengirim emoji tertawa dan mengatakan “Pernah kok bulan ada
di waktu siang.” Nala memperbaiki jawabannya “Malam hari ada karena ketiadaan
matahari.”
“Kasihan
bulan kalau begitu.”
“Kenapa?”
“Dia
tidak berguna.”
“Pasti
ada gunanya!”
“Apa?”
“Entah,
menaikkan gelombang air mungkin!”
“Air
pasang?”
“Iya.”
“Kamu
pintar sekali, ya.”
Percakapan-percakapan
seperti itu terus terjadi antara Nala dan Tulus. Kenyamanan mulai tumbuh, Nala
yang seumur hidup tidak pernah memiliki perasaan kepada lawan jenis mulai
menaruh harapan. Tapi tentu saja Nala takut, apakah Tulus juga seperti itu?
Apakah kedekatan yang coba dijalin oleh Tulus memang karena itu?
Nala
mencoba mencari Tahu tentang Tulus.
Mencari
tahu tentang Tulus bukan seuatu yang
sulit untuk seorang yang menghabiskan waktu dengan kesendirian seperti Nala.
Nala menelusuri internet dan akhirnya tahu bahwa Tulus hanya tinggal berdua
dengan ibunya di sebuah perumahan sederhana sekitar setengah jam perjalanan
dari rumah Nala. Dari semua tampilan media sosial yang ditunjukkan oleh Tulus,
lalu bagaimana teman-temannya menanggapi semua postingan Tulus membuat Nala
sadar ada perbedaan yang jelas dari kehidupan mereka.
Hidup
Nala yang tak ramai.
Hidup
Tulus yang sangat ramai.
Tulus
memiliki banyak teman, dia memang baik kepada semua orang. Tulus terlihat
sangat dekat dengan teman-temannya. Tulus bahkan terlihat sangat akrab dengan
tetangga yang terlihat dari postingan ketika gotong royong atau pun membantu
tetangga yang sedang hajatan. Tulus adalah keterbalikan dari Nala. Apakah Tulus
juga memperlakukan semua orang seperti bagaimana dia memperlakukan Nala?
Saat
menyadari hal itu Nala mencoba untuk mengubur segala ekspektasinya. Nala
mencoba untuk biasa saja menanggapi Tulus dan tidak menunggu pesan-pesannya. Tulus
sama sekali tidak menurunkan kedekatannya kepada Nala. Tulus tetap tulus, menjaga
hubungan baik dengan perempuan yang bertubuh jangkung itu.
Hingga
Jumat sore yang lalu, sebelum mereka pulang dari kantor.
“Besok
sore, ayo jalan!” Ucap Tulus di parkiran, sepeda motor mereka terparkir
berdekatan.
“Jalan?”
“Iya,
jalan. Mau?”
Nala
mengangguk. Harapan itu, memuncak kembali.
Nala
menatap ponselnya, sudah hampir jam sembilan malam tapi tidak ada konfirmasi
dari Tulus tentang pembatalan janji temu malam ini. Nala merasa tidak cukup
dengan pembatalan tanpa alasan. Namun mesekipun sedang dirundung banyak tanda
tanya, Nala mencoba menumbuhkan segara perasaan positif bahwa Tulus memang benar-benar
harus membatalkan janji temu itu. Nala kemudian mengirim pesan.
Kapan
ada waktu lain lagi?
Sepuluh
menit kemudian pesan itu dibalas. “Aku di depan Nay.”
Nala
keluar dari kamarnya dengan berlari, membuka pintu dan Tulus persis berada di
depan, menyunggingkan senyum dengan baju penuh dengan keringat.
“Aku
bawa mobil tapi tidak bisa masuk ke sini. Aku berlari dari depan gang, Nay.”
“Kok?”
“Boleh
kan aku manggil Nay?”
“Kenapa
kamu?”
“Tetanggaku
Pak Dodi sedang dinas luar. Anaknya yang hanya tinggal dengan istrinya
tiba-tiba demam tinggi. Aku dan ibu membantu mereka mengantarkan ke rumah
sakit. Kebetulan aku pandai nyetir mobil. Itu mobil yang ku bawa punya
Pak Dodi. Ibu sekarang di rumah sakit dengan istri dan anak Pak Dodi. Aku harus
tetap datang Nay, aku tidak boleh melepaskan hari ini begitu saja.”
Nala
berlari memeluk laki-laki itu tanpa sungkan.
“Aku
sempat beli martabak, kita kencan di sini saja, ya.”
Terima kasih atas lagu yang luar biasa ini Tulus. Aku adalah penggemarmu, ditunggu karya-karya luar biasa lainnya.
Nala - Tulus
Lirik


Komentar
Posting Komentar