Korban Pertama Pilkada : Harian SIB 21 April 2024

 Korban Pertama Pilkada

Terbit Harian SIB 21 April 2024

Eza Budiono



Pilkada untuk pemilihan walikota tahun ini memakan korban lebih cepat. Adalah Maisyaroh, Kepala SD BTN yang dimutasi oleh petahana dua minggu yang lalu. Alasannya tentu saja karena Maisyaroh terindikasi mendukung lawan politik sang petahana.

Maisyaroh tidak seperti itu! Kedatangan Kadek si lawan petahana sudah tidak bisa dihindari. Pertama, Kadek adalah salah satu orang tua siswa. Kedua, Ketua Komite sekolah merupakan tim sukses Kadek. Ketiga, sebagai alasan yang paling penting adalah Kadek merupakan Ketua Ikatan Alumni SD BTN. Kehadiran Kadek untuk memberikan sambutan pada acara Gelar Karya Semester Genap memang sudah sepantasnya.

Tapi Petahana memang sedang terganggu ketenangan jiwanya, entah karena bisikan jahat para setan yang ada di sampingnya, atau murni bisikan setan yang memang ada di dalam dirinya, digantilah Maisyaroh. Sang Petahana tidak peduli pergantian ini melanggar peraturan karena Maisyaroh merupakan Kepala Sekolah Penggerak dari Program Guru Penggerak yang dicanangkan oleh Kementrian Pendidikan. Seyogyanya, dengan tanda tangan kontrak yang sudah dilaksanakan oleh Maisyaroh, Pemerintah Kota, dan Kementrian Pendidikan maka selama empat tahun dia tidak boleh dipindahkan kecuali terindikasi melakukan pelanggaran berat.

Maisyaroh baru dua tahun menjadi Kepala Sekolah Penggerak. Dia tidak melakukan pelanggaran apapun, tidak mendapatkan peringatan atau teguran apapun atas kesalahan yang mungkin dibuatnya, tidak ada juga upaya pembinaan baik itu dari Badan Kepegawaian atau Dinas Pendidikan, tiba-tiba saja dia sudah diturunkan.

Maisyaroh tidak melawan karena dua alasan. Pertama dia memang tidak terlalu berambisi menjadi kepala sekolah. Jabatan itu didapatkannya dulu karena dia merupakan salah satu guru berprestasi. Alasan kedua karena Maisyaroh tidak mau jabatan suaminya sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup menjadi terancam jika dia melakukan penolakan.

Kejadian turunnya Maisyaroh itu tidak bisa diterima oleh Hasan. Teman sejawat Maisyaroh sesama kepala sekolah yang baru menjabat selama satu tahun itu mempertanyakan langsung kepada Badan Kepegawaian dan Dinas Pendidikan. Dia tidak terima mentornya itu diturunkan hanya karena isu politik yang tak berdasar. Hasan bahkan semakin berang ketika Dinas Pendidikan memunculkan narasi-narasi menjatuhkan Maisyaroh. Melalui seorang Pengawas Sekolah, Dinas Pendidikan menyampaikan bahwa Maisyaroh diturunkan karena kinerjanya tidak baik, penggantinya akan jauh lebih baik.

Saat pertama kali menjadi kepala sekolah, Hasan langsung mendatangi Maisyaroh. Menurut Hasan saat itu, tipe ideal kepala sekolah adalah Maisyaroh. Maisyaroh berhasil menjadi satu-satunya sekolah penggerak di kota mereka, rapor pendidikan sekolah itu pun bagus, guru-gurunya terlihat bahagia dengan kokompakan yang tertampilkan tanpa kepalsuan.

Sehari setelah dia dilantik menjadi kepala sekolah, Hasan langsung mendatangi Maisyaroh di SD BTN.

“Buk Mai, tentang gosip uang pengamanan APH itu bagaimana?” Tanya Hasan waktu itu.

“Nanti Pak Hasan tahu sendiri!”

“Aku berguru ke Buk Mai sajalah. Maksudnya jika memang ada, biar tahu darimana menyiapkannya.”

“Ada Pak Hasan. Tujuh ribu per siswa untuk mengamankan semua pihak!”

“Buk Mai bagaimana mengalokasikan dananya?”

“Pastinya itu tidak bisa dituliskan. Kepala sekolah yang lain membayar menggunakan uang persenan dari rekanan. Misalnya Pak Hasan membeli buku harga lima puluh ribu, sekitar sepuluh persen dikembalikan ke Pak Hasan, uang itulah yang digunakan untuk membayar hal-hal tak tertulis tadi.”

“Kalau Buk Mai?”

“Menurutku uang persenan dari rekanan itu tidak bisa diharapkan karena nilainya tidak tetap sedangkan pembayaran untuk pengamanan itu nilainya tetap dan wajib. Maka itu aku menitipkan uang pada gaji salah satu guru honorku.”

“Maksudnya bagaimana, Bu?”

“Perumpamaannya begini, sekolahku misalnya butuh uang pengamanan sebesar dua juta empat ratus ribu setahun. Jika dibagi dua belas bulan kan berarti dua ratus ribu sebulan. Nah, gaji guru honorku kan sekitar delapan ratus ribu perbulan, setiap bulannya aku menitipkan dua ratus ribu untuk salah satu guru honor. Jadi dia menandatangani gaji itu sebesar satu juta namun yang diterimanya delapan ratus ribu saja.”

“Tapi kan gaji honorer sudah di transfer ke rekening, Bu?”

“Besoknya si guru honorer itu akan mengantarkan dua ratus ribu ke Kita, Pak. Makanya cari guru honorernya yang bisa diajak bekerja sama, Pak. Jelaskan ke dia peruntukan uang itu. Kita gak korupsi kok, sistem yang berjalan mengharuskan kita seperti itu. Tak mungkin kan Pak Hasan mengeluarkan uang pribadi untuk membayar pengamanan itu?”

Selain percakapan itu ada banyak hal yang dipelajari Hasan dari Maisyaroh mulai dari rekanan yang bisa diajak bekerja sama, Aktivis dan LSM yang perlu diwaspadai dan yang tak perlu ditanggapi, kepala sekolah yang harus dijauhi dan didekati, semua diajarkan. Maka dengan rasa kesetiakawanan dan balas budi itulah Hasan terus menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh Maisyaroh. Hasan tidak peduli jika Maisyaroh pun diam terhadap nasibnya sendiri.

Pilkada sudah memakan korban! Kepala Sekolah Penggerak yang sudah meneken kontrak selama empat tahun harus dimutasi tanpa penjelasan!

Tulisan itu langsung ramai dikomentari orang ketika Hasan menerbitkannya di media sosial. Hasan membalas semua komentar itu dan secara langsung menyerang Sang Petahana dan Dinas Pendidikan. Hasan juga menerbitkan berkas MOU sekolah penggerak yang ditandatangani, Maisyaroh, Sang Petahana dan Kemendikbud.

Hasan juga memaparkan semua kerja baik yang dilakukan oleh Maisyaroh selama menjabat sebagai kepala sekolah. Banyak orang yang mendukung Hasan. Aktivis dan wartawan kemudian menyambangi Sang Petahana dan Dinas Pendidikan untuk mempertanyakan kebijakan itu.

Para Wartawan juga mencoba meminta konfirmasi kepada Maisyaroh namun selalu gagal. Maisyaroh menghindari wartawan karena memang tidak pernah punya rencana untuk mempermasalahkan. Suatu pagi Maisyaroh mendapatkan panggilan telepon dari Rizaldi, Kepala Seksi Pengembangan Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

“Ibu seperti gak pernah ditolong dinas saja! Ibu ini PNS, mutasi, naik jabatan, turun jabatan, itu wajar!” Nada bicaranya tinggi, Rizaldi marah besar.

“Saya tidak mempermasalahkan itu, Pak!”

“Jadi dapat si Hasan dari mana itu perjanjiannya?”

“Dulu dia pernah minta contoh berkas MOU, Pak. Saya kirim langsung MOU itu. Sudah lama kejadiannya Pak, jauh sebelum masalah ini muncul!”

“Ibu suruh la dia berhenti mengurusi ini!”

“Sudah saya coba, Pak. Katanya jika itu terjadi ke orang lain pun maka dia akan tetap bersuara!”

“Ibu tidak memperhitungkan suami, ya?”

Permasalahan itu terus menjadi perbincangan. Hasan menulis fakta-fakta tak terbantahkan tentang keberadaan Kadek dalam kegiatan Gelar Karya itu. Orang-orang mulai berani mengkritik Sang Petahana secara langsung.

Pagi itu Pemerintah Kota menjawab segala tudingan dengan melantik kembali Maisyaroh menjadi kepala sekolah. Entah siapa yang memulai tapi narasi baru bermunculan bahwa Maisyarah tidak diturunkan, dia hanya sedang dipersiapkan untuk mengurus sekolah paling bobrok dan proses itu baru selesai hari ini.

Hasan mengambil Surat Keputusan Mutasi di ruangan Rizaldi. Maisyaroh menggantikannya sebagai kepala sekolah dan Hasan akan menjadi guru lagi. Hasan tidak banyak bicara, mengambil SK mutasi, mengecek lalu berniat pergi meninggalkan ruangan itu. Di kepalanya telah tersusun berbagai rencana perlawanan yang akan dilakukannya.

“Eh tunggu Pak Hasan, Hikmah ini guru honor di sekolah Bapak, kan?” Ucap Rizaldi.

“Iya, Pak. Kenapa?”

“Oh, Dinas Pendidikan berniat melaporkan dia tentang pencemaran nama baik.” Rizaldi menyodorkan print out sebuah percakapan Whatsapp antara Hikmah dan Maisyaroh yang merupakan saudara jauh.

Hikmah           : Luar biasa baiknya Pak Hasan ini, Kak!

Maisyaroh       : Gaji kalian berapa dibuatnya?

Hikmah           : Enam ratus ribu, Kak. Naik lima puluh ribu dari kepsek yang lama, lumayanlah.

Maisyaroh       : Tapi pernah kulihat SPJ si Hasan, delapan ratus ribu gaji kalian.

Hikmah           : Oh kalau itu iya Kak, memang kami tanda tangani delapan ratus, dua ratus kami kembalikan ke Pak Hasan. Katanya untuk dinas pendidikan, biaya pengamanan.

Hasan menatap Rizaldi yang meneguk kopi hitam hingga tinggal separuh.

“Atau Pak Hasan punya bukti kami meminta biaya pengamanan?” Ujar Rizaldi dengan senyum mengembang.



Komentar