Perkara THR
Eza Budiono
Perkara
merapalkan kebahagiaan orang lain, manusia memang ahlinya. Menurut mereka
Syahrin sedang tidak bahagia saat ini karena menghilang dan menonaktifkan
ponselnya. Menurut mereka, Syahrin yang menjabat sebagai Kepala Bidang
Kurikulum di Dinas Pendidikan itu tidak merdeka karena harus menghilang
menjelang lebaran.
Alasan
Syahrin menghilang adalah menghindari Tumin atau tukang minta yang selalu
datang dengan tanda pengenal pers. Tak soal dia wartawan betulan atau bualan, tak
soal pula jika kantor surat kabarnya benar ada atau hanya fiktif belaka, mereka
tetap datang. Disebabkan tak mau memberi THR kepada para Tumin itulah maka Syahrin
memutuskan untuk menghilang. Bukan hanya Syahrin yang begitu, kepala dinas,
sekretaris daerah, bahkan walikota pun demikian.
Kenyataannya
Syahrin gembira tak ketulungan. Baginya menghilang dan menonaktifkan ponsel ini
lah satu-satunya cara untuk menang. Para Tumin itu tak mendapatkan THR, uang
Syahrin tak berkurang dan dia hanya perlu meminta maaf serta membuat seribu
alasan nantinya. Bagi Syahrin dan pejabat lain, inilah kebijakan paling dasar
yang harus dimiliki oleh seorang pejabat yaitu : Menghindari konflik.
Para
Tumin tak bisa ditemui menjelang lebaran ini karena mereka yang biasanya
bersedia menerima dua puluh ribu akan menuntut lebih, minimal seratus ribu. Tumin
lain yang biasanya mau menerima seratus ribu akan menuntut lima ratus ribu.
Mereka lebih baik dihindari sekarang ini. Nantinya setelah lebaran mereka akan
marah, disitulah Syahrin akan mencoba kembali merajut silaturahmi. Saat itu
kebutuhan sedang mendesak, uang sang Tumin sedang habis-habisnya maka Si Tumin
dua puluh ribu akan kembali dua puluh ribu dan begitu pula Tumin lainnya. Damai
tenang hidup Syahrin.
Syahrin
pun mendengar celotehan orang yang bilang dia tidak merdeka. Tak peduli Syahrin
pada itu. Dulu ketika masih bawahan, dia pun berpikir demikian. Tapi merdeka
itu bukan di dapat dari mulut orang-orang bawahan. Setelah menjadi pejabat
Syahrin akhirnya tahu bahwa tudingan tidak merdeka yang diberikan orang-orang
kepada para pejabat itu hanya pengobat hati saja. Sebenarnya mereka iri karena
belum jadi pejabat.
Para
bawahan itu akan bilang “lebih baik jadi staff tapi merdeka.” Padahal di hati
mereka juga ingin sekali menjadi pejabat. Syahrin dulu begitu, dan sekarang dia
sangat sadar bahwa dia sangat merdeka. Gaji, tunjangan kinerja, THR, THR
tunjangan kinerja, rabat barang, sisa diklat, pungli pengurusan administrasi,
dan hadiah dari rekanan aman sentosa.
Urusan
pekerjaan pun gampang. Dia masih punya satu ponsel lagi yang dapat dihubungi
oleh bawahannya. Jika ada perlu bawahannya pun datang membawa surat-surat.
Pejabat itu urusannya banyak, tapi lebih banyak lagi dokumen yang harus ditanda
tangananinya. Jadi selama masih bisa menandatangani, dimanapun Syahrin berada
tak pernah jadi soal. Pekerjaan selesai tanpa perkara. Tinggal menunggu takbir
menggema maka hari rayalah Syahrin dan keluarga dengan uang penuh baik yang
halal maupun yang tercela.
Endian
nama Tumin itu. Surat kabar yang diagung-agungkannya sebagai kantor sebenarnya
sudah tutup sejak dua tahun yang lalu. Tapi begitupun, Endian masih selalu
mengaku sebagai kepala biro dari surat kabar itu. Dia mengamuk di ruangan
Kurikulum Dinas Pendidikan. Syahrin dan dua orang kepala seksi menghilang. Para
staf di kantor itu mengaku tidak tahu dimana keberadaan mereka.
Endian
yang pekerjannya memang hanya minta-minta itu cukup bingung. Hari raya sudah
sebentar lagi, baju anak-istri belum lagi dibeli. Toples kue belum tersusun di
rumah, belum lagi dia memikirkan THR untuk para keponakan dan orang tua. Endian
tentu malu jika tidak memberi THR kepada para keponakan. Selama ini dia mengaku
sebagai orang yang dekat dan disegani oleh para pejabat. Tapi sekarang, tak
seorang pun pejabat-pejabat itu bisa ditemui.
Endian
benar-benar tak siap menghadapi lebaran tahun ini. Memang ada satu dua orang
pejabat yang tak menghilang. Tapi ekspektasi Endian tidak seperti itu.
Rencananya dia akan mendatangi setidaknya lima belas orang kepala seksi, lima
belas orang kepala bidang dan lima orang kepala dinas. Uang sekitar lima juta
sudah diperkirakan Endian akan bersemayam di kantongnya. Tentu saja itu cukup
untuk menunjukkan kepada sanak-keluarga bahwa dia orang berguna.
Saat
marah itu ponselnya berdering. Panggilan dari Khalid, koleganya yang senasib.
“Sudah
datang kepala tu, ke sini kau!”
Endian
keluar dari ruangan Bidang Kurikulum dan memacu sepada motornya. Sekarang
tujuannya adalah SMP Negeri 1. Kepala sekolah itu sudah menjadi bulan-bulanan
mereka selama ini. Awalnya mereka tidak menargetkan kepala sekolah ini untuk
membantu lebaran mereka. Tapi apa mau dibuat, ikan paus dan tongkol tidak
kelihatan, ikan teri pun jadilah.
Arif
Budiman nama kepala sekolah itu. Sebagai kepala sekolah SMP favorit dengan
jumlah siswa sembilan ratus orang maka dia jelas punya banyak uang. Setidaknya
begitulah pemikiran para Tumin itu. Uang dana BOS yang disesuaikan dengan
jumlah siswa memanggil para Tumin untuk berdatangan. Bagi mereka prinsipnya
satu, kepala sekolah itu pasti korupsi, korupsi haruslah dibagi-bagi.
Arif
tak bisa seperti pejabat lain yang menghilang. Jika kepala sekolah menghilang,
maka menghilanglah guru-guru. Jika kepala sekolah tak hadir, maka tak hadirlah
guru-guru. Maklumlah memang, bulan puasa begini siapa pula yang semangat
mengajar. Anak murid pun sebenarnya malas sekolah tapi kebijakan dinas
pendidikan yang membuat tetap sekolah harus dituruti.
Arif
pun bukan tak mengira akan didatangi para Tumin itu. Sebelumnya dia mengatur
siasat dengan datang lebih pagi. Begitu semua guru telah hadir dan pembelajaran
dimulai Arif menghilang. Hari ini kegigihan para Tumin mengalahkannya. Para
Tumin berbagi tugas, satu orang menunggu Arif di sekolah. Begitu Arif tiba,
Tumin 1 memanggil Tumin-tumin lainnya. Tertangkap basahlah Arif, Sepuluh orang
Tumin senasib dengan Endian sudah secara terang-terangan meminta THR di ruang
kepala sekolah.
“Mau
lebaran ini ketua.” Semua orang jadi ketua dimata mereka.
Pguru
di ruang guru sedang tertawa melihat Arif dikerumuni para Tumin. Mereka riang
gembira sebab Arif ini bukanlah orang yang arif melainkan pelit. Sudah tiga
tahun Arif menjadi kepala sekolah di sini tapi para guru tak pernah mendapatkan
parcel lebaran atau THR. Para guru yang mulia itu lupa bahwa Arif hanya seorang
PNS, apa yang mau diberikannya sebagai THR kecuali hasil dari korupsi?
“Tak
adalah duit saya Pak.” Arif menghindar. Dia tahu bahwa para Tumin ini datang
karena tidak mendapatkan jatah dari para pejabat lain. Jelas mereka tak
menerima uang receh.
“Aku
harus mengulur-ngulur waktu.” Ucap Arif dalam hati.
Tawar-menawar
antara Arif dan para Tumin terdengar oleh Ramadan, guru honor yang sudah
mengabdi dua tahun belakangan dengan gaji dua ratus lima puluh ribu sebulan. Ramadan
baru saja selesai mendaftar pinjaman online.

Komentar
Posting Komentar