Cerpen Eza Budiono : Harian Waspada, 21 April 2024

 Perkara THR

Eza Budiono



Perkara merapalkan kebahagiaan orang lain, manusia memang ahlinya. Menurut mereka Syahrin sedang tidak bahagia saat ini karena menghilang dan menonaktifkan ponselnya. Menurut mereka, Syahrin yang menjabat sebagai Kepala Bidang Kurikulum di Dinas Pendidikan itu tidak merdeka karena harus menghilang menjelang lebaran.

Alasan Syahrin menghilang adalah menghindari Tumin atau tukang minta yang selalu datang dengan tanda pengenal pers. Tak soal dia wartawan betulan atau bualan, tak soal pula jika kantor surat kabarnya benar ada atau hanya fiktif belaka, mereka tetap datang. Disebabkan tak mau memberi THR kepada para Tumin itulah maka Syahrin memutuskan untuk menghilang. Bukan hanya Syahrin yang begitu, kepala dinas, sekretaris daerah, bahkan walikota pun demikian.

Kenyataannya Syahrin gembira tak ketulungan. Baginya menghilang dan menonaktifkan ponsel ini lah satu-satunya cara untuk menang. Para Tumin itu tak mendapatkan THR, uang Syahrin tak berkurang dan dia hanya perlu meminta maaf serta membuat seribu alasan nantinya. Bagi Syahrin dan pejabat lain, inilah kebijakan paling dasar yang harus dimiliki oleh seorang pejabat yaitu : Menghindari konflik.

Para Tumin tak bisa ditemui menjelang lebaran ini karena mereka yang biasanya bersedia menerima dua puluh ribu akan menuntut lebih, minimal seratus ribu. Tumin lain yang biasanya mau menerima seratus ribu akan menuntut lima ratus ribu. Mereka lebih baik dihindari sekarang ini. Nantinya setelah lebaran mereka akan marah, disitulah Syahrin akan mencoba kembali merajut silaturahmi. Saat itu kebutuhan sedang mendesak, uang sang Tumin sedang habis-habisnya maka Si Tumin dua puluh ribu akan kembali dua puluh ribu dan begitu pula Tumin lainnya. Damai tenang hidup Syahrin.

Syahrin pun mendengar celotehan orang yang bilang dia tidak merdeka. Tak peduli Syahrin pada itu. Dulu ketika masih bawahan, dia pun berpikir demikian. Tapi merdeka itu bukan di dapat dari mulut orang-orang bawahan. Setelah menjadi pejabat Syahrin akhirnya tahu bahwa tudingan tidak merdeka yang diberikan orang-orang kepada para pejabat itu hanya pengobat hati saja. Sebenarnya mereka iri karena belum jadi pejabat.

Para bawahan itu akan bilang “lebih baik jadi staff tapi merdeka.” Padahal di hati mereka juga ingin sekali menjadi pejabat. Syahrin dulu begitu, dan sekarang dia sangat sadar bahwa dia sangat merdeka. Gaji, tunjangan kinerja, THR, THR tunjangan kinerja, rabat barang, sisa diklat, pungli pengurusan administrasi, dan hadiah dari rekanan aman sentosa.

Urusan pekerjaan pun gampang. Dia masih punya satu ponsel lagi yang dapat dihubungi oleh bawahannya. Jika ada perlu bawahannya pun datang membawa surat-surat. Pejabat itu urusannya banyak, tapi lebih banyak lagi dokumen yang harus ditanda tangananinya. Jadi selama masih bisa menandatangani, dimanapun Syahrin berada tak pernah jadi soal. Pekerjaan selesai tanpa perkara. Tinggal menunggu takbir menggema maka hari rayalah Syahrin dan keluarga dengan uang penuh baik yang halal maupun yang tercela.

Endian nama Tumin itu. Surat kabar yang diagung-agungkannya sebagai kantor sebenarnya sudah tutup sejak dua tahun yang lalu. Tapi begitupun, Endian masih selalu mengaku sebagai kepala biro dari surat kabar itu. Dia mengamuk di ruangan Kurikulum Dinas Pendidikan. Syahrin dan dua orang kepala seksi menghilang. Para staf di kantor itu mengaku tidak tahu dimana keberadaan mereka.

Endian yang pekerjannya memang hanya minta-minta itu cukup bingung. Hari raya sudah sebentar lagi, baju anak-istri belum lagi dibeli. Toples kue belum tersusun di rumah, belum lagi dia memikirkan THR untuk para keponakan dan orang tua. Endian tentu malu jika tidak memberi THR kepada para keponakan. Selama ini dia mengaku sebagai orang yang dekat dan disegani oleh para pejabat. Tapi sekarang, tak seorang pun pejabat-pejabat itu bisa ditemui.

Endian benar-benar tak siap menghadapi lebaran tahun ini. Memang ada satu dua orang pejabat yang tak menghilang. Tapi ekspektasi Endian tidak seperti itu. Rencananya dia akan mendatangi setidaknya lima belas orang kepala seksi, lima belas orang kepala bidang dan lima orang kepala dinas. Uang sekitar lima juta sudah diperkirakan Endian akan bersemayam di kantongnya. Tentu saja itu cukup untuk menunjukkan kepada sanak-keluarga bahwa dia orang berguna.

Saat marah itu ponselnya berdering. Panggilan dari Khalid, koleganya yang senasib.

“Sudah datang kepala tu, ke sini kau!”

Endian keluar dari ruangan Bidang Kurikulum dan memacu sepada motornya. Sekarang tujuannya adalah SMP Negeri 1. Kepala sekolah itu sudah menjadi bulan-bulanan mereka selama ini. Awalnya mereka tidak menargetkan kepala sekolah ini untuk membantu lebaran mereka. Tapi apa mau dibuat, ikan paus dan tongkol tidak kelihatan, ikan teri pun jadilah.

Arif Budiman nama kepala sekolah itu. Sebagai kepala sekolah SMP favorit dengan jumlah siswa sembilan ratus orang maka dia jelas punya banyak uang. Setidaknya begitulah pemikiran para Tumin itu. Uang dana BOS yang disesuaikan dengan jumlah siswa memanggil para Tumin untuk berdatangan. Bagi mereka prinsipnya satu, kepala sekolah itu pasti korupsi, korupsi haruslah dibagi-bagi.

Arif tak bisa seperti pejabat lain yang menghilang. Jika kepala sekolah menghilang, maka menghilanglah guru-guru. Jika kepala sekolah tak hadir, maka tak hadirlah guru-guru. Maklumlah memang, bulan puasa begini siapa pula yang semangat mengajar. Anak murid pun sebenarnya malas sekolah tapi kebijakan dinas pendidikan yang membuat tetap sekolah harus dituruti.

Arif pun bukan tak mengira akan didatangi para Tumin itu. Sebelumnya dia mengatur siasat dengan datang lebih pagi. Begitu semua guru telah hadir dan pembelajaran dimulai Arif menghilang. Hari ini kegigihan para Tumin mengalahkannya. Para Tumin berbagi tugas, satu orang menunggu Arif di sekolah. Begitu Arif tiba, Tumin 1 memanggil Tumin-tumin lainnya. Tertangkap basahlah Arif, Sepuluh orang Tumin senasib dengan Endian sudah secara terang-terangan meminta THR di ruang kepala sekolah.

“Mau lebaran ini ketua.” Semua orang jadi ketua dimata mereka.

Pguru di ruang guru sedang tertawa melihat Arif dikerumuni para Tumin. Mereka riang gembira sebab Arif ini bukanlah orang yang arif melainkan pelit. Sudah tiga tahun Arif menjadi kepala sekolah di sini tapi para guru tak pernah mendapatkan parcel lebaran atau THR. Para guru yang mulia itu lupa bahwa Arif hanya seorang PNS, apa yang mau diberikannya sebagai THR kecuali hasil dari korupsi?

“Tak adalah duit saya Pak.” Arif menghindar. Dia tahu bahwa para Tumin ini datang karena tidak mendapatkan jatah dari para pejabat lain. Jelas mereka tak menerima uang receh.

“Aku harus mengulur-ngulur waktu.” Ucap Arif dalam hati.

Tawar-menawar antara Arif dan para Tumin terdengar oleh Ramadan, guru honor yang sudah mengabdi dua tahun belakangan dengan gaji dua ratus lima puluh ribu sebulan. Ramadan baru saja selesai mendaftar pinjaman online.


Komentar