Cerpen Eza Budiono : Harian Waspada, 26 Mei 2024

 Hasan Senin

Eza Budiono



Tahun ini akan sepuluh tahun Hasan menjadi guru dan keinginannya masih belum tercapai. Keinginan itu bukan semakin dekat melainkan semakin tidak mungkin untuk terwujud. Sepele saja sebenarnya keinginan itu, Hasan ingin dipanggil Pak Guru oleh masyarakat, itulah alasan dia bercita-cita menjadi guru sejak kecil.

Jadi ceritanya di dekat rumah Hasan ada Pak Samsul yang selalu dipanggil Pak Guru. Pak Samsul yang mengajar di SMA Negeri 1 itu merupakan seorang guru fisika yang setiap hari berpakaian necis. Kemeja lengan panjang yang bagian bawahnya masuk ke dalam celana kain selain dipadukan dengan sepatu. Ke kedai kopipun Pak Samsul selalu menggunakan sepatu.

Mungkin itulah penyebab Hasan tak kunjung dipanggil Pak Guru oleh orang-orang. Dia memang tak pandai bepakaian seperti Pak Guru Samsul. Setiap hari Hasan menggenakan kaos oblong kedodoran, hanya ketika mengajar sajalah dia menggunakan kemeja atau baju batik. Apalagi urusan sepatu, Hasan sampai membuat peraturan khusus di kelasnya yaitu masuk tanpa sepatu agar dia punya alasan tidak menggenakan sepatu di sekolah.

Tapi itu memang hanya asumsi Hasan. Asumsi itu muncul ketika Hasan mengingat-ngingat pengalaman menjadi murid dari Pak Guru Samsul. Saat menjadi murid di kelas 3 SMA itulah dia bingung bagaimana orang seperti itu bisa dipanggil Pak Guru. Setiap hari Pak Guru Samsul hampir tidak pernah mengajar. Dia memang datang ke kelas, tapi yang dilakukannya hanya merokok di depan pintu sedang murid ditugaskan mencatat dari buku paket hingga berlembar-lembar.

Pak Guru Samsul sama sekali tidak peduli atas apa yang dilakukan oleh muridnya. Asal jangan ribut, mencatat, maka telah belajarlah mereka. Belum lagi jika ada murid yang berbuat kesalahan, Pak Samsul akan langsung menempeleng, menendang, bahkan menampar, di masa itu kekerasan kepada murid masih dianggap sebagai pendidikan.

Hasan tidak pernah ingin menjadi Pak Guru Samsul pada bagian itu, maka dia menjadi guru yang sangat berbeda. Hasan yang mengajar di SD merupakan guru yang dicintai murid. Hasan mengajar dengan berbagai metode, sumber belajar yang bermacam-macam, menggunakan media ajar yang bisa disentuh langsung dan hampir tidak pernah marah kepada murid.

Hasan juga mengikuti semua perkembangan zaman. Mengajarkan anak-anak tentang teknologi, menemani anak-anak melakukan praktik-praktik di lapangan, dan masih banyak lagi. Hasan benar-benar tipikal guru merdeka.

Secara prestasi pun Hasan sangat layak untuk disebut sebagai guru. Hasan sudah menerbitkan tiga buku cerita anak untuk bahan bacaan anak-anak. Dia telah menulis jurnal penelitian yang diakui, menjadi instruktur kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka, Hasan mengikuti setiap kebijakan yang dilakukan oleh Kemendikbud, semua perkembangan itu diorientasikan Hasan untuk perkembangan murid.

Tapi panggilan Pak Guru Hasan tak kunjung didapatnya dari manapun.

Tetangga tetap saja memanggil dia Pak Hasan, atau Hasan, atau Ucok yang merupakan nama kecilnya. Tak satu kalipun Hasan menerima panggilan Pak Guru dari orang-orang yang bertemu dengannya. Apakah memang Hasan tak cukup cocok menjadi guru? Apakah memang dia harus berpakaian rapi seperti Pak Guru Samsul baru bisa mendapatkan panggilan itu?

Hal yang paling membuat Hasan nelangsa bukan hanya soal tidak dipanggil Pak Guru Hasan. Hampir setahun yang lalu dia mendapatkan julukan baru dari Kedai Kopi Zaitun Janda Sangkot. Oh begini, dahulu yang berjualan di kedai kopi itu adalah Sangkot, ketika dia meninggal Zaitun istrinyalah yang melanjutkan kedai kopi itu maka bergantilah julukan kedai kopi itu. Kalian sekarang tahu kan mengapa julukan begitu penting bagi Hasan? Orang kampung mereka memang hobi memberikan julukan kepada orang lain.

Ketika Ayahnya meninggal dunia, Ustaz Faisal Dari Arab, itu juga julukan karena Ustaz Faisal merupakan lulusan Arab pertama di kampung mereka.

“Salah satu yang harus kita lakukan ketika orang tua meninggal adalah tetap melanjutkan silaturahminya. Jadi Pak Hasan, jangan putuskan silaturahmi dengan saudara, kerabat dan teman-teman almarhum.”

Oleh sebab ceramah itulah Hasan menjadwalkan untuk berkunjung ke Kedai Kopi Zaitun Janda Sangkot menggantikan ayahnya yang dulu setiap hari minum kopi di situ. Diatur Hasanlah jadwal belajarnya, disusunnya jadwal agar Pelajaran Agama, Bahasa Inggris, dan Penjas dilaksanakan dalam satu hari. Dipilihlah hari Senin, maka setiap Senin ke Kedai Kopi Zaitun  Janda Sangkot lah Hasan.

Suatu hari Hasan mencoba iseng kepada Zaitun.

“Kak tinggal dompetku, utang aku dulu ya.” Ucapnya kepada Zaitun padahal dompetnya sebenarnya ada.

“Bah, jangan banyak alasan kau Hasan. Bangkrut aku kalau kaupun sampai mengutang.”

“Orang lain boleh mengutang sedangkan aku tidak?”

“Kau itu guru! Malulah kalau guru mengutang!”

“Catat sajalah! Kakak harus adil, semua orang kakak izinkan mengutang!”

“Lagian ya Hasan, mau kutulis apa namamu di buku utang ini?”

“Tulis sajalah Hasan.”

“Uda banyak Hasan. Hasan saja udah ada, Hasan Becak, Hasan Kontak yang tukang listrik itu, Hasan Doping yang pernah tetangkap narkoba itu, Hasan Pincang tahulah Kau siapa, Hasan Dudapun sudah ada ini.”

“Tulisalah Pak Guru Hasan!”

“Mana bisa guru masuk dalam daftar utang kedai kopi. Rusak marwah guru nanti!”

“Bah, PNS lain boleh?”

“Mereka kan bukan guru. Kalo guru pantang, pekerjaan mulia itu!”

“Sudahlah Zaitun, kau tulis saja di situ Hasan Senin, dia kan memang tiap Senin datang.”  Ucap Indra BMT yaitu Indra Belum Masuk Tanggal sebab kabarnya dia lahir mendadak padahal tanggal masih jauh.

“Tulis Hasan Senin! Senin depan kubayarlah itu!” Ucap Hasan kesal karena Zaitun pun tak mau menulis nama Pak Guru Hasan untuknya.

Hasan mengira panggilan itu hanya akan sementara. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja banyak orang yang memanggilnya dengan nama itu. Pada sampul buku kemalangan yang baru diterimanya pun tertulis Hasan Senin, Jln. Ambacang.


Komentar