Hasan Senin
Eza Budiono
Tahun
ini akan sepuluh tahun Hasan menjadi guru dan keinginannya masih belum
tercapai. Keinginan itu bukan semakin dekat melainkan semakin tidak mungkin
untuk terwujud. Sepele saja sebenarnya keinginan itu, Hasan ingin dipanggil Pak
Guru oleh masyarakat, itulah alasan dia bercita-cita menjadi guru sejak kecil.
Jadi
ceritanya di dekat rumah Hasan ada Pak Samsul yang selalu dipanggil Pak Guru.
Pak Samsul yang mengajar di SMA Negeri 1 itu merupakan seorang guru fisika yang
setiap hari berpakaian necis. Kemeja lengan panjang yang bagian bawahnya masuk
ke dalam celana kain selain dipadukan dengan sepatu. Ke kedai kopipun Pak
Samsul selalu menggunakan sepatu.
Mungkin
itulah penyebab Hasan tak kunjung dipanggil Pak Guru oleh orang-orang. Dia
memang tak pandai bepakaian seperti Pak Guru Samsul. Setiap hari Hasan
menggenakan kaos oblong kedodoran, hanya ketika mengajar sajalah dia
menggunakan kemeja atau baju batik. Apalagi urusan sepatu, Hasan sampai membuat
peraturan khusus di kelasnya yaitu masuk tanpa sepatu agar dia punya alasan
tidak menggenakan sepatu di sekolah.
Tapi
itu memang hanya asumsi Hasan. Asumsi itu muncul ketika Hasan mengingat-ngingat
pengalaman menjadi murid dari Pak Guru Samsul. Saat menjadi murid di kelas 3
SMA itulah dia bingung bagaimana orang seperti itu bisa dipanggil Pak Guru.
Setiap hari Pak Guru Samsul hampir tidak pernah mengajar. Dia memang datang ke
kelas, tapi yang dilakukannya hanya merokok di depan pintu sedang murid
ditugaskan mencatat dari buku paket hingga berlembar-lembar.
Pak
Guru Samsul sama sekali tidak peduli atas apa yang dilakukan oleh muridnya.
Asal jangan ribut, mencatat, maka telah belajarlah mereka. Belum lagi jika ada
murid yang berbuat kesalahan, Pak Samsul akan langsung menempeleng, menendang,
bahkan menampar, di masa itu kekerasan kepada murid masih dianggap sebagai
pendidikan.
Hasan
tidak pernah ingin menjadi Pak Guru Samsul pada bagian itu, maka dia menjadi
guru yang sangat berbeda. Hasan yang mengajar di SD merupakan guru yang dicintai
murid. Hasan mengajar dengan berbagai metode, sumber belajar yang
bermacam-macam, menggunakan media ajar yang bisa disentuh langsung dan hampir
tidak pernah marah kepada murid.
Hasan
juga mengikuti semua perkembangan zaman. Mengajarkan anak-anak tentang
teknologi, menemani anak-anak melakukan praktik-praktik di lapangan, dan masih
banyak lagi. Hasan benar-benar tipikal guru merdeka.
Secara
prestasi pun Hasan sangat layak untuk disebut sebagai guru. Hasan sudah
menerbitkan tiga buku cerita anak untuk bahan bacaan anak-anak. Dia telah
menulis jurnal penelitian yang diakui, menjadi instruktur kurikulum 2013 dan
Kurikulum Merdeka, Hasan mengikuti setiap kebijakan yang dilakukan oleh
Kemendikbud, semua perkembangan itu diorientasikan Hasan untuk perkembangan
murid.
Tapi
panggilan Pak Guru Hasan tak kunjung didapatnya dari manapun.
Tetangga
tetap saja memanggil dia Pak Hasan, atau Hasan, atau Ucok yang merupakan nama
kecilnya. Tak satu kalipun Hasan menerima panggilan Pak Guru dari orang-orang
yang bertemu dengannya. Apakah memang Hasan tak cukup cocok menjadi guru?
Apakah memang dia harus berpakaian rapi seperti Pak Guru Samsul baru bisa
mendapatkan panggilan itu?
Hal
yang paling membuat Hasan nelangsa bukan hanya soal tidak dipanggil Pak Guru
Hasan. Hampir setahun yang lalu dia mendapatkan julukan baru dari Kedai Kopi
Zaitun Janda Sangkot. Oh begini, dahulu yang berjualan di kedai kopi itu adalah
Sangkot, ketika dia meninggal Zaitun istrinyalah yang melanjutkan kedai kopi
itu maka bergantilah julukan kedai kopi itu. Kalian sekarang tahu kan mengapa
julukan begitu penting bagi Hasan? Orang kampung mereka memang hobi memberikan
julukan kepada orang lain.
Ketika
Ayahnya meninggal dunia, Ustaz Faisal Dari Arab, itu juga julukan karena Ustaz
Faisal merupakan lulusan Arab pertama di kampung mereka.
“Salah
satu yang harus kita lakukan ketika orang tua meninggal adalah tetap
melanjutkan silaturahminya. Jadi Pak Hasan, jangan putuskan silaturahmi dengan
saudara, kerabat dan teman-teman almarhum.”
Oleh
sebab ceramah itulah Hasan menjadwalkan untuk berkunjung ke Kedai Kopi Zaitun
Janda Sangkot menggantikan ayahnya yang dulu setiap hari minum kopi di situ.
Diatur Hasanlah jadwal belajarnya, disusunnya jadwal agar Pelajaran Agama,
Bahasa Inggris, dan Penjas dilaksanakan dalam satu hari. Dipilihlah hari Senin,
maka setiap Senin ke Kedai Kopi Zaitun
Janda Sangkot lah Hasan.
Suatu
hari Hasan mencoba iseng kepada Zaitun.
“Kak
tinggal dompetku, utang aku dulu ya.” Ucapnya kepada Zaitun padahal dompetnya
sebenarnya ada.
“Bah,
jangan banyak alasan kau Hasan. Bangkrut aku kalau kaupun sampai mengutang.”
“Orang
lain boleh mengutang sedangkan aku tidak?”
“Kau
itu guru! Malulah kalau guru mengutang!”
“Catat
sajalah! Kakak harus adil, semua orang kakak izinkan mengutang!”
“Lagian
ya Hasan, mau kutulis apa namamu di buku utang ini?”
“Tulis
sajalah Hasan.”
“Uda
banyak Hasan. Hasan saja udah ada, Hasan Becak, Hasan Kontak yang tukang listrik
itu, Hasan Doping yang pernah tetangkap narkoba itu, Hasan Pincang tahulah Kau
siapa, Hasan Dudapun sudah ada ini.”
“Tulisalah
Pak Guru Hasan!”
“Mana
bisa guru masuk dalam daftar utang kedai kopi. Rusak marwah guru nanti!”
“Bah,
PNS lain boleh?”
“Mereka
kan bukan guru. Kalo guru pantang, pekerjaan mulia itu!”
“Sudahlah
Zaitun, kau tulis saja di situ Hasan Senin, dia kan memang tiap Senin datang.” Ucap Indra BMT yaitu Indra Belum Masuk
Tanggal sebab kabarnya dia lahir mendadak padahal tanggal masih jauh.
“Tulis
Hasan Senin! Senin depan kubayarlah itu!” Ucap Hasan kesal karena Zaitun pun
tak mau menulis nama Pak Guru Hasan untuknya.
Hasan
mengira panggilan itu hanya akan sementara. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba
saja banyak orang yang memanggilnya dengan nama itu. Pada sampul buku
kemalangan yang baru diterimanya pun tertulis Hasan Senin, Jln. Ambacang.
Komentar
Posting Komentar