Berebut Apa di Tanah Melayu?
Eza Budiono
Hebat betul mereka menudingku tak tahu adat. Memangnya
mengapa kalau masyarakat adat bertengkar? Kenyataannya pertengkaran yang
terjadi dalam musyawarah pemilihan Ketua Umum Masyarakat Adat Melayu itu juga
bukan aku yang memulainya. Cempaka yang tak tahu malu itu yang memulainya.
Bagaimana mungkin orang tak beradat seperti dirinya dipilih menjadi ketua
masyarakat adat?
Setengah tahun yang lalu kami masih akur dan sangat
dekat. Kalian tahu, dia adalah Ketua Masyarakata Adat Melayu tahun 2019-2024.
Tak usahlah Si Cempaka itu banyak cerita! Aku tahu betul dia terpilih bukan
karena kemampuannya tapi karena jabatannya yang saat itu merupakan kepala dinas
Perpustakaan dan Arsip di kota kami. Kalau bukan pejabat, tak akan ada yang
memilih dia menjadi ketua umum.
Aku merupakan sekretarisnya, pada periode itu. Kami
bersinergilah mengurus adat Melayu yang mulai terlupakan zaman sambil sesekali
menghabiskan dana hibah untuk minum kopi, beli goreng, dan jalan-jalan ke Raja
Ampat. Tak usah banyak ceritalah, aku tahu betul bagaimana dana-dana besar itu
digunakan, tak ada satupun manusia di dalam kepengurusan itu yang benar-benar
peduli pada adat dan budaya Melayu itu.
Ku tanya dia baik-baik enam bulan lalu sebelum proses
pemilihan Ketua Umum Periode 2024-2029 dimulai
“Bu Cempaka, mencalon lagi?”
“Entahlah Pak Suhen,”
“Kalau Bu Cempaka mencalon lagi, kita perjuangkan
bersama, Buk!”
“Apa masih ada orang yang mau memilihku, Pak Sekjen?”
“Ah, tentulah masih ada, orang-orang kita masih
mendominasi di dalam organisasi ini, Bu.”
“Tapi kan aku sudah tua, sudah pensiun dan bukan
pejabat lagi, Jen”
“Gampang itu, Bu. Kita buat rekayasa opini bahwa
memang Ibu yang pantas untuk menduduki jabatan itu.”
“Tapi sepertinya tidak usah saja Pak Suhen. Aku tidak
akan mencalon!”
“Kalau memang Bu Cempaka tak maju, izinkanlah aku
untuk maju!”
“Kita dukung Pak Suhen seratus persen untuk menjadi
Ketua Umum.”
Kurang beradat apalagi aku? Aku masih memikirkan
perasaan Si Cempaka tak beradat itu. Aku bertanya kepadanya tentang
keinginannya mencalon dan setelah dia mengatakan tidak bersedia baru aku berani
mencalonkan diri. Aku menghormatinya sebagai Ketua Umum dan orang tua tapi apa
perlakuannya kepadaku? Aku di fitnah habis-habisan.
Dua bulan aku bergrilya meminta dukungan dari para
pengurus untuk menjadi calon Ketua Umum, fitnah itu sampai kepadaku. Hendra
Pemain Bola, karena memang dahulu dia seorang pemain bola mengajakku minum kopi
di suatu sore.
“Jen, memang betul dizinkan Bu Cempaka untuk
mencalon?”
“Betullah, Hen. Mana berani aku melangkahi Bu
Cempaka!”
“Tapi tak begitu yang dikatakannya kepada kami?”
“Apa yang dia bilang.”
“Tapi kau harus berjanji untuk tak membawa-bawa
namaku, ya!”
“Iya, janji aku.”
“Aku merekamnya, tapi aku tidak akan mengirim filenya,
Jen.”
Kami berdua mendengarkan rekaman yang berisi suara
dari Cempaka yang sekarang ku beri gelar Cempaka Tak Tahu Adat. Jadi para
pengurus mengunjungi Cempaka untuk memvalidasi pernyataanku yang mengatakan
telah mendapatkan dukungan dari Si Cempaka Tak Tahu Adat itu. Dalam pertemuan
itu aku mendengar semuanya dengan jelas ketika Cempaka memfitnahku dengan
fasih.
“Saya sebenarnya masih ingin menjadi ketua, tapi Pak
Suhen Sekjen berambisi untuk menggantikan saya. Kami berdua kan dekat, saya
cukup segan dan sungkan kalau harus mencalon lagi dan bertarung melawan dia.”
Ucap Cempaka dalam rekaman itu.
“Tidak begitu, Bu. Jika disuruh meminta memilih antara
Bu Cempaka atau Sekjen Suhen, kami tentulah memilih Ibu. Dia bilang kepada kami
semua telah mendapatkan restu Ibu untuk maju.”
“Bagaimana mugkin tidak saya restui, Pak. Segan saya
kalau menjadi penghambat keinginannya.”
“Berarti dia berbohong!”
“Sekarang kami bertanya ke Bu Cempaka, Ibu masih mau
menjadi Ketua Umum?” Itu Suara Khairuddin, aku hapal sekali suara manusia yang
penuh ambisi untuk menggantikan aku sebagai sekretaris itu.
“Saya bersedia, Pak. Insyaallah!”
Otomatis tanganku menghentak meja kedai kopi itu.
Syukurlah di Kedai Kopi Zaitun Janda Sangkot itu tidak ada orang selain kami
berdua.
“Cempaka Anjing!”
“Sabarlah, Jen!”
“Kirim rekaman itu ke aku, Hen!”
“Aku tak akan mengirim Jen, sudah kesepakatan kita
diawal tadi.”
“Memang tak tahu adat manusia itu ya, seluruh hidupku
sudah kubaktikan kepadanya lima tahun ini tapi begitu mudah dia memfitnahku
begitu. Tahu kau Hendra, sudah kupujuk dia untuk mencalon tapi dia tidak mau.
Sudah pensiunlah, tualah, tak lagi pejabatlah, banyak sekali alasannya. Dasar
anjing memang anjing!”
Kursi di dalam ruang sidang yang kebetulan
dilaksanakan di Aula Raja Gembira milik Cempaka ku lemparkan sampai ke depan
pimpinan sidang. Aku akhirnya dikeluarkan dari sidang yang penuh kecurangan itu
setelah puas memaki-maki Cempaka dan pendukungnya. Aku gagal mencalon dan
pemilihan itu dimenangkan oleh Cempaka secara aklamasi.
Aku cukup puas karena bisa memaki Si Cempaka Tak Tahu
Adat di hadapan banyak orang. Tapi kupikir hal itu hanya sampai disitu.
Ternyata tidak, aku difitnah lagi namun kali ini rombongan. Aku dikatakan marah
dan merusuh sidang karena gagal menjadi ketua umum. Padahal aku merusuh karena
mereka memfitnahku!
Lucu sekali ketika suatu sore seorang mahasiswa yang
bahkan belum tamat kuliah bertanya kepadaku.
“Bagaimana mungkin sidang Masyarakat Adat jadi seperti
itu, Pak. Apa sebenarnya yang direbutkan di tanah Melayu ini?”
Dia tidak tahu saja berdagang dengan nama Masyarakat
Adat ini laku keras dan harganya lumayan mahal.

Komentar
Posting Komentar