Cengeng
Eza Budiono
CENGENG
EZA
BUDIONO
Ketika
membaca pengumuman itu dan aku dinyatakan tidak lulus, aku langsung takut pada
dunia. Aku langsung menyuruh ke bawah meja kerjaku dengan air mata berlinang. Tubuhku
bergetar, keringatku pun bercucuran, aku benar-benar tidak menyangka
ketidaklulusan itu. Panjang sekali sesunggukku saat itu. Tangis si Cengeng yang
lebih sering tak bersuara ini hari itu bunyinya begitu pilu. Kenapa aku tidak
lulus?
Saat
itu juga aku harus tetap terlihat wajar untuk membalas pesan dari teman-teman
yang mendaftar bersama. Semua mereka lulus dan aku benar-benar iri, aku marah,
benci, mengapa kalian bisa lulus sedangkan aku tidak?
Namun saat itu aku harus menjadi manusia, aku harus menipu diri dan semua orang lantas mengatakan selamat, semangat dan teruskan. Padahal jika ditanya hati aku ingin sekali bilang “Jangan lanjutkan, kalian harus menungguku.” Tapi tentu saja itu tidak mungkin, semua orang pasti akan menudingku tidak legowo dan lain sebagainya. Maka aku hanya harus bersikap sok hebat.
Orang-orang
memberi aku semangat, termasuk orang-orang terdekatku yang mendaftar bersama
itu. Mereka bilang aku tidak lulus karena sudah melebihi kualifikasi. Ah, tai
kucing! Jelek sekali alasan itu. Aku tidak suka!
Mereka
memintaku mendaftar kembali untuk Angkatan-angkatan selanjutnya, tapi muncul
pertanyaan dalam hatiku, “Apa yang harus kulakukan untuk tahap selanjutnya itu?”
Ya, aku berpikir bahwa aku telah memberikan segalanya untuk proses pendaftaran
itu. Aku jujur mengisi esai dan segalanya, apakah aku harus berbohong agar bisa
lulus?
Apakah
aku harus mengarang bebas untuk bisa mendapatkan kategori layak dan diluluskan?
Aku hancur, ini adalah salah satu momen terburuk dalam kehidupanku. Aku yang sangat
percaya diri lulus akhirnya tidak lulus. Ini bahkan lebih sakit dari berbagai
penolakan yang kuterima untuk naskah-naskahku.
Aku,
yang dikenal selalu bergerak, mencoba mengajak orang-orang berkolaborasi, menyemangati
orang-orang tua, membantu dan memfasilitasi orang-orang muda tidak diluluskan
dalam urusan bergerak? Oh, ternyata benar mungkin, “Aku bukan siapa-siapa
sehingga tak pantas untuk mendapatkan predikat kelulusan itu.”
Sisa
perjalanan saat itu kulalui dengan marah dan hati terpaksa. Aku harus melihat
orang-orang berproses sebegitu menyenangkannya. Mereka belajar hal-hal baru,
terus maju dan meninggalkanku. Begitulah, aku menangis hampir setiap hari
menyadari ketidak lulusanku itu. Aku bahkan berpikir inilah akhir dari karirku,
aku tidak pantas mendapatkan kelulusan ini berarti selama ini apa yang
kuusahakan, kuperjuangkan, ku jalankan tidak cukup layak untuk dianggap
bergerak. Aku menarik napas panjang, terisak dan penuh kesedihan.
Aku
memang cengeng, tapi aku tidak mungkin menunjukkan itu. Apalagi ketika orang-orang
terdekat yang mendaftar bersamaku memintaku untuk tetap membersamai mereka. Oh
Tuhan, hatiku teriris setiap kali melihat mereka bersama-sama melakukan
kegiatan-kegiatan itu. Aku menahan air mata, mencoba untuk tetap tersenyum agar
semuanya berjalan baik-baik saja. Aku mempelajari apa yang mereka pelajari,
menyelesaikan modul-modul, mencoba mengerjakan tugas-tugas dan sempat berpikir “Ah,
meski aku tidak lulus aku bisa kok turut serta belajar, bukankah belajar tidak
melulu dengan predikat yang resmi?”
Tapi
perasaan itu tak menyelamatkanku. Aku tetap tidak mendapatkan apa yang
didapatkan mereka. Interasksi dengan narasumber, dengan pendamping, dengan
fasilitator dan lain sebagainya. Aku tidak mendapatkan itu. Apa yang kupelajari
tetap saja palsu. Aku akhirnya mengasingkan diri, mencoba sok sibuk agar tak ikut
serta dalam kegiatan-kegiatan itu lagi.
Sepanjang
tahun aku menderita. Sungguh. Mungkin bagi Sebagian orang ini berlebihan, tapi
bagaimana jika kau sangat meninginkan sesuatu dan sangat yakin pantas untuk
sesuatu itu tapi sesuatu itu tidak kau dapatkan? Pedih, aku tidak bisa tidur
beberapa lama hanya karena air mata yang terus mengalir.
Aku
memang cengeng, dari dulu begitu. Aku menangis untuk hal-hal sederhana. Aku bahkan
akan tetap menangis meskipun menang ketika bertengkar. Karena aku cengeng maka
aku tidak akan mendaftar dalam sebuah perlombaan yang besar kemungkinan aku
akan kalah. Semisal, aku tidak akan mendaftar dalam lomba baca puisi karena
memang aku tak pandai melakukannya.
Sampai
hari ini, aku masih merasa tak bernilai jika dibandingkan dengan orang-orang
yang lulus itu. Mereka lebih hebat, mereka terakui, dan lain sebagainya. Maka
ketika salah satu dari mereka ada yang bilang “Aku takut kehilangan panggung”
Aku hanya bisa menangis kembali. Mungkin itu benar!
Ketika
salah satu dari mereka bilang “Aku takut kehilangan rejeki,” Aku hanya bisa
menangis. Mungkin memang tudingan itu benar.
Apalagi
beberapa hari yang lalu aku mendapatkan sebuah berita bahwa salah satu dari
orang-orang hebat itu bilang “Aku tidak pantas membahas tentang kurikulum
karena tidak pernah dikirim dan (mungkin) bukan dari bagian mereka yang hebat.”
Aku mafhum. Maka itu aku menolak semua panggilan telepon dari orang-orang yang
meminta aku menjelaskan tentang kurikulum dan apapun itu.
Maka
disini aku menyampaikan. Ya, aku iri dengan kalian. Aku sangat iri dengan
kesempatan-kesempatan yang kalian dapatkan dengan itu. Aku iri sekali. Aku
ingin Sekali mendapatkan kesempatan terbuka seperti itu. Jujur Demi Allah, aku
iri.
Tapi
tentu saja, iriku ini tidak akan mengganggu kalian. Aku tidak akan sampai
mencelakai kalian dengan iriku ini. Maka dari itu aku mohon. Mari kita
selesaikan pertarungan yang tiada artinya ini. Kalian terlalu tinggi untuk
bertengkar denganku. Kalian terlalu hebat untuk mencari-cari dimana celahku.
Aku menyerah, dari predikat saja aku tidak akan bisa mencapai kalian.
Demi
Allah. Aku tidak mau kita saling mencari salah satu sama lain. Aku iri dengan
kalian, aku menangis hingga hari ini ketika menyadari ketidakpantasanku untuk
mendapatkan predikat yang sama dengan kalian. Aku sungguh iri.
Aku
tidak akan mengambil apapun lagi.
Maka
biarkan aku menangis dengan ketidakpantasanku ini. Aku mohon, kalian majulah
dengan predikat yang tak bisa kumiliki itu.
Mohon
maaf.
Agustus
ini, aku membuat pengakuan.
Aku
masih sering menangis karena tidak lulus waktu itu.
Dan
aku mengakui jika kalian semua adalah orang-orang hebat karena itu.
Maka
melajulah..
Aku
iri, tapi aku tidak akan menganggu.
Jikapun
aku menolak sebuah kebijakan, Itu bukan karena iriku kepada kalian. Tapi karena
rasaku itu memang tidak cocok saja.

Sombong x orang² yg bilang gitu.. orang pantas tidaknya menyampaikan sesuatu yaa karna kualitas dirinya, bukan karna predikatny
BalasHapus