Kisah Ismail
Eza Budiono
Ismail
meraung di dalam kamar kos ketika menerima undangan pernikahan Dea. Dia yang
saat itu masih kuliah semester tiga tidak menyangka Dea akan menikah secepat
itu. Dea yang tidak melanjutkan kuliah menikah dengan seorang PNS bernama
Dirly. Saat itu Ismail benar-benar dirundung berjuta penyesalan karena hanya
bisa memendam cinta selama 6 tahun.
Setelah
pernikahan itu cinta Ismail tidak berubah. Ismail yang mencintai Dea sejak
kelas 2 SMP memutuskan untuk tetap mencintai perempuan yang selalu berambut
sebahu itu. Hingga hari ini, sembilan belas tahun sudah Ismail mencintai Dea
yang sekarang telah memiliki seorang anak bernama Samuel.
Deananta
Lumbantoruan bukan tidak mengetahui bahwa Ismail mencintainya. Ketika dia akan
menikah sebuah pesan dari Ismail diterimanya. Ismail akhirnya berani mengaku
tentang cintanya namun saat itu Dea yang akan menikah tidak menanggapi
pernyataan cinta itu. Lagi pula, terlalu banyak tebing terjal yang harus mereka
lalui untuk sekadar membicarakan cinta.
Kisah
cinta Ismail kepada Dea itupun akhirnya semakin sering menjadi pembahasan orang
lain. Ismail yang sekarang sudah menjadi seorang Guru PNS tidak mau menikah dan
secara terang-terangan mengatakan kepada semua orang hanya mau menikah dengan
Dea. Berulang kali Dea mendapatkan kabar itu dari teman-teman namun dia selalu
berhasil mengabaikannya.
Dea
pun tahu bahwa Ismail selalu berangkat dan pulang kerja melewati depan
rumahnya. Sudah sembilan tahun sejak laki-laki itu diterima sebagai Guru PNS di
kota ini dan rutinitasnya selalu tetap sama. Ketika orang-orang bertanya
mengapa Ismail melakukan itu maka sungguh jawaban Ismail sangat memilikukan
“Begitulah cinta, melihat pagar rumahnya saja sudah membuat kita senang!”
Sejak
Dea menikah Ismail mencoba menyerahkan segalanya kepada Tuhan karena memang dia
yakin hanya Tuhan yang mampu mengambulkan inginnya itu. Ismail merasa tidak
punya daya upaya lagi untuk mengambil Dea dari segala kehidupannya. Maka dari
itu Ismail menjadi lebih saleh sejak saat itu, bangun setiap malam untuk
melaksanakan Salat Tahajud, banyak mengaji, pun juga melaksanakan salat secara
lima waktu berjamaah di masjid.
Bukan
tak banyak perempuan yang dikenalkan kepada Ismail mulai dari Rindu seorang PNS
yang bertugas di rumah sakit sebagai Apoteker. Perempuan itu cantik, salehah
dengan jilbab panjang menutup dada. Ismail menggeleng, begitupun ketika dia
dikenalkan dengan seorang bidan, polwan, guru, dan perawat, semuanya gagal.
Ismail hanya mau pada Deananta Lumbantoruan.
Pagi
itu hujan turun rintik-rintik. Seperti biasa Ismail menuju ke sekolah dengan
melalui rumah Dea. Belum jam tujuh pagi ketika Dea berdiri persis di depan
pagar rumahnya. Ismail yang sudah kadung terlihat tidak mungkin bisa memutar
sepeda motornya. Dea maju ke tengah jalan, merentangkan tangan sehingga membuat
Ismail harus berhenti persis di depan rumah Dea. Ismail memerhatikan sekeliling
demi memastikan adegan itu tidak dilihat oleh para tetangga. Beruntung, komplek
perumahan tempat tinggal Dea dihuni tetangga yang saling tak peduli.
“Kita
harus bicara, Mail.”
“Tapi
aku buru-buru, siswaku menunggu!”
“Kau
mengaku mencintaiku tapi menolak ketika ku ajak bicara?”
Akhirnya
Ismail mengalah lalu memarkirkan sepeda motornya persis di depan rumah Dea. Dea
meminta Ismail untuk memasukkan sepeda motor itu ke dalam teras rumah. Ismail
sempat menolak sebelum Dea mengatakan bahwa suaminya Dirly sedang tugas keluar
kota.
“Dia
sudah dua hari tugas luar. Samuel juga tidur lagi setelah Saat Teduh.”
“Tahun
depan Samuel lima tahun, ya!”
“Iya,
dia akan sekolah tahun depan.”
Ismail
mengangguk-nganguk. Mencoba mengedarkan pandangan ke seluruh bagian teras
mencari tempat untuk duduk namun tidak menemukan satupun kursi di teras itu.
“Ayo
masuk ke dalam!”
Ismail
mengikuti Dea untuk masuk ke dalam rumah. Dea duduk di sofa lalu memersilakan
Ismail untuk duduk. Mereka saling berhadapan hanya dipisahkan sebuah meja kecil
yang di atasnya terdapat asbak rokok dan sebungkus tisu.
“Kau
mau minum apa?”
“Tidak
usah, Dea.”
“Kenapa?
Kau tidak mau minum di rumah seorang Kristen?”
“Bukan
begitu, aku baru saja minum!”
“Tenang
saja Ismail, di rumah ini ada banyak air kemasan. Air mineral sampai yang ada
rasanya pun tersedia. Kau mau minum apa atau kuambilkan apapun?”
“Air
mineral saja kalau begitu!”
Dea
bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah dapur. Sebentar saja Dea sudah
keluar dengan membawa dua botol air mineral. Belum sempurna Ia kembali duduk, suaranya
kembali terdengar berbicara.
“Bagaimana
mungkin kau mengaku mencintai seorang perempuan yang bahkan kau tidak sudi
untuk minum di rumahnya, Mail?”
Ismail
hanya terdiam lalu menerima air mineral yang diulurkan oleh Dea. Ismail sempat
mencuri pandang kepada Dea yang sama sekali tidak berubah. Wajahnya masih tetap
cantik, rambutnya hitam legam dan lebat, lesung pipinya yang dalam masih
mendominasi untuk membuat siapapun terpesona.
“Mari
kita bicarakan tentang kita!”
“Aku
sudah mengaku tentang perasanku ketika kau akan menikah, Dea.”
“Kalau
begitu, apa yang akan kau lakukan dengan cintamu itu, Mail?”
“Tidak
ada. Aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan untuk memintamu!”
“Tuh
kan, kau ini lucu!”
“Lucu
apanya?”
“Kau
memintaku kepada Tuhanmu sedangkan aku adalah kepemilikan Tuhanku?”
Ismail
terdiam dan kembali menunduk. Perbedaan agama yang dianut keduanyalah yang
membuat Ismail hanya memendam rasa cintanya sejak kelas 2 SMP hingga Dea
menikah itu. Dia merasa tidak punya kekuatan untuk merajut hubungan dengan
perbedaan agama. Dia dan Dea yang masih tinggal dengan orang tua, orang tua
Ismail yang taat beragama membuat Ismail yakin bahwa hubungan itu akan sulit.
“Aku
merasa tersanjung kau mencintaiku sampai sembilan belas tahun. Kau tahu, aku
juga akhirnya goyah dan dua tahun belakangan sering membayangkan menikah dan
hidup bersamamu.”
“Kalau
begitu ayo hidup denganku!”
“Tentu
saja aku bisa lakukan itu, kau lihat ini!” Dea mengangkat celana pendeknya
sehingga terlihat bagian pahanya yang lebam seperti bekas dipukul menggunakan
ikat pinggang.
“Itu
kenapa? Dirly memukulmu?”
“Ya!
Sejak dua tahunan ini dia sering memukulku. Dia pandai sekali memilih tempat
yang tidak terlihat seperti paha, punggung dan juga bagian-bagian tubuh
depanku. Memar-memar ini mungkin tidak akan cukup untukku meminta cerai karena
pastinya orang tua akan mencoba mendamaikan kami. Tapi aku berpikir tentang
kau, betapa beruntungnya aku jika bisa hidup dengan laki-laki yang terus
mencintaiku padahal waktu telah berlalu sembilan belas tahun.”
“Kalau
begitu ayo menikah denganku, Dea!”
“Boleh!
Aku akan berkorban dengan mengupayakan perceraian.”
“Benarkah?”
“Lalu
kau berkorban apa?”
“ha?”
“Bukankah
kau seharusnya juga berkorban, Ismail?”

Komentar
Posting Komentar