Kisah Ismail --- Cepen : Harian SIB, 28 Juli 2024

Kisah Ismail

Eza Budiono


Ismail meraung di dalam kamar kos ketika menerima undangan pernikahan Dea. Dia yang saat itu masih kuliah semester tiga tidak menyangka Dea akan menikah secepat itu. Dea yang tidak melanjutkan kuliah menikah dengan seorang PNS bernama Dirly. Saat itu Ismail benar-benar dirundung berjuta penyesalan karena hanya bisa memendam cinta selama 6 tahun.

Setelah pernikahan itu cinta Ismail tidak berubah. Ismail yang mencintai Dea sejak kelas 2 SMP memutuskan untuk tetap mencintai perempuan yang selalu berambut sebahu itu. Hingga hari ini, sembilan belas tahun sudah Ismail mencintai Dea yang sekarang telah memiliki seorang anak bernama Samuel.

Deananta Lumbantoruan bukan tidak mengetahui bahwa Ismail mencintainya. Ketika dia akan menikah sebuah pesan dari Ismail diterimanya. Ismail akhirnya berani mengaku tentang cintanya namun saat itu Dea yang akan menikah tidak menanggapi pernyataan cinta itu. Lagi pula, terlalu banyak tebing terjal yang harus mereka lalui untuk sekadar membicarakan cinta.

Kisah cinta Ismail kepada Dea itupun akhirnya semakin sering menjadi pembahasan orang lain. Ismail yang sekarang sudah menjadi seorang Guru PNS tidak mau menikah dan secara terang-terangan mengatakan kepada semua orang hanya mau menikah dengan Dea. Berulang kali Dea mendapatkan kabar itu dari teman-teman namun dia selalu berhasil mengabaikannya.

Dea pun tahu bahwa Ismail selalu berangkat dan pulang kerja melewati depan rumahnya. Sudah sembilan tahun sejak laki-laki itu diterima sebagai Guru PNS di kota ini dan rutinitasnya selalu tetap sama. Ketika orang-orang bertanya mengapa Ismail melakukan itu maka sungguh jawaban Ismail sangat memilikukan “Begitulah cinta, melihat pagar rumahnya saja sudah membuat kita senang!”

Sejak Dea menikah Ismail mencoba menyerahkan segalanya kepada Tuhan karena memang dia yakin hanya Tuhan yang mampu mengambulkan inginnya itu. Ismail merasa tidak punya daya upaya lagi untuk mengambil Dea dari segala kehidupannya. Maka dari itu Ismail menjadi lebih saleh sejak saat itu, bangun setiap malam untuk melaksanakan Salat Tahajud, banyak mengaji, pun juga melaksanakan salat secara lima waktu berjamaah di masjid.

Bukan tak banyak perempuan yang dikenalkan kepada Ismail mulai dari Rindu seorang PNS yang bertugas di rumah sakit sebagai Apoteker. Perempuan itu cantik, salehah dengan jilbab panjang menutup dada. Ismail menggeleng, begitupun ketika dia dikenalkan dengan seorang bidan, polwan, guru, dan perawat, semuanya gagal. Ismail hanya mau pada Deananta Lumbantoruan.

Pagi itu hujan turun rintik-rintik. Seperti biasa Ismail menuju ke sekolah dengan melalui rumah Dea. Belum jam tujuh pagi ketika Dea berdiri persis di depan pagar rumahnya. Ismail yang sudah kadung terlihat tidak mungkin bisa memutar sepeda motornya. Dea maju ke tengah jalan, merentangkan tangan sehingga membuat Ismail harus berhenti persis di depan rumah Dea. Ismail memerhatikan sekeliling demi memastikan adegan itu tidak dilihat oleh para tetangga. Beruntung, komplek perumahan tempat tinggal Dea dihuni tetangga yang saling tak peduli.

“Kita harus bicara, Mail.”

“Tapi aku buru-buru, siswaku menunggu!”

“Kau mengaku mencintaiku tapi menolak ketika ku ajak bicara?”

Akhirnya Ismail mengalah lalu memarkirkan sepeda motornya persis di depan rumah Dea. Dea meminta Ismail untuk memasukkan sepeda motor itu ke dalam teras rumah. Ismail sempat menolak sebelum Dea mengatakan bahwa suaminya Dirly sedang tugas keluar kota.

“Dia sudah dua hari tugas luar. Samuel juga tidur lagi setelah Saat Teduh.”

“Tahun depan Samuel lima tahun, ya!”

“Iya, dia akan sekolah tahun depan.”

Ismail mengangguk-nganguk. Mencoba mengedarkan pandangan ke seluruh bagian teras mencari tempat untuk duduk namun tidak menemukan satupun kursi di teras itu.

“Ayo masuk ke dalam!”

Ismail mengikuti Dea untuk masuk ke dalam rumah. Dea duduk di sofa lalu memersilakan Ismail untuk duduk. Mereka saling berhadapan hanya dipisahkan sebuah meja kecil yang di atasnya terdapat asbak rokok dan sebungkus tisu.

“Kau mau minum apa?”

“Tidak usah, Dea.”

“Kenapa? Kau tidak mau minum di rumah seorang Kristen?”

“Bukan begitu, aku baru saja minum!”

“Tenang saja Ismail, di rumah ini ada banyak air kemasan. Air mineral sampai yang ada rasanya pun tersedia. Kau mau minum apa atau kuambilkan apapun?”

“Air mineral saja kalau begitu!”

Dea bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah dapur. Sebentar saja Dea sudah keluar dengan membawa dua botol air mineral. Belum sempurna Ia kembali duduk, suaranya kembali terdengar berbicara.

“Bagaimana mungkin kau mengaku mencintai seorang perempuan yang bahkan kau tidak sudi untuk minum di rumahnya, Mail?”

Ismail hanya terdiam lalu menerima air mineral yang diulurkan oleh Dea. Ismail sempat mencuri pandang kepada Dea yang sama sekali tidak berubah. Wajahnya masih tetap cantik, rambutnya hitam legam dan lebat, lesung pipinya yang dalam masih mendominasi untuk membuat siapapun terpesona.

“Mari kita bicarakan tentang kita!”

“Aku sudah mengaku tentang perasanku ketika kau akan menikah, Dea.”

“Kalau begitu, apa yang akan kau lakukan dengan cintamu itu, Mail?”

“Tidak ada. Aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan untuk memintamu!”

“Tuh kan, kau ini lucu!”

“Lucu apanya?”

“Kau memintaku kepada Tuhanmu sedangkan aku adalah kepemilikan Tuhanku?”

Ismail terdiam dan kembali menunduk. Perbedaan agama yang dianut keduanyalah yang membuat Ismail hanya memendam rasa cintanya sejak kelas 2 SMP hingga Dea menikah itu. Dia merasa tidak punya kekuatan untuk merajut hubungan dengan perbedaan agama. Dia dan Dea yang masih tinggal dengan orang tua, orang tua Ismail yang taat beragama membuat Ismail yakin bahwa hubungan itu akan sulit.

“Aku merasa tersanjung kau mencintaiku sampai sembilan belas tahun. Kau tahu, aku juga akhirnya goyah dan dua tahun belakangan sering membayangkan menikah dan hidup bersamamu.”

“Kalau begitu ayo hidup denganku!”

“Tentu saja aku bisa lakukan itu, kau lihat ini!” Dea mengangkat celana pendeknya sehingga terlihat bagian pahanya yang lebam seperti bekas dipukul menggunakan ikat pinggang.

“Itu kenapa? Dirly memukulmu?”

“Ya! Sejak dua tahunan ini dia sering memukulku. Dia pandai sekali memilih tempat yang tidak terlihat seperti paha, punggung dan juga bagian-bagian tubuh depanku. Memar-memar ini mungkin tidak akan cukup untukku meminta cerai karena pastinya orang tua akan mencoba mendamaikan kami. Tapi aku berpikir tentang kau, betapa beruntungnya aku jika bisa hidup dengan laki-laki yang terus mencintaiku padahal waktu telah berlalu sembilan belas tahun.”

“Kalau begitu ayo menikah denganku, Dea!”

“Boleh! Aku akan berkorban dengan mengupayakan perceraian.”

“Benarkah?”

“Lalu kau berkorban apa?”

“ha?”

“Bukankah kau seharusnya juga berkorban, Ismail?”



Komentar