Pelanggan, Pramusaji, dan Pemilik Kedai Kopi
Eza Budiono
Dua
tahun sudah aku menetap di kota ini. Kota pesisir kecil yang siang dan malamnya
selalu saja panas. Kota ini kecil sekali hingga hanya butuh waktu setengah jam
dengan sepeda motor untuk dapat mengelilinginya. Dua tahun yang lalu, aku lulus
sebagai Pegawai Negeri Sipil dan ditempatkan di SMP Negeri 4 sebagai guru
matematika.
Tapi
yang menarik dari kota ini adalah kebiasaan orang-orangnya meminum kopi. Tua,
muda, pagi, sore, malam kegiatan minum kopi seakan menjadi budaya. Apalagi
ngopi mereka selalu diiringi dengan kebiasaan yang sangat ku sukai yaitu bakombur.
Bakombur itu bercerita, tapi di kota ini bercerita menjadi sangat
menyenangkan karena orangnya yang ramah dan selalu memberikan respek baik
kepada lawan bicara.
Namaku
Agni dan sudah setahun lebih aku membuka kedai kopi di Tanah Melayu ini. Kedai
kopi modern milikku mencoba untuk bersaing dengan banyaknya kedai kopi modern
lainnya. Beruntung karena kebiasaan minum kopi tadi, aku sudah punya pelanggan
tetap hingga hari ini.
Aku
menerima seorang pramusaji bernama Zuliatri untuk membantuku di kedai kopi.
Zuli akan membuka kedai kopi sekitar jam sepuluh pagi. Aku baru bisa membantu
pada jam satu siang setelah pulang mengajar. Penghasilan dari kedai kopi ini
memang cukup besar dibandingkan dengan gaji PNS, tapi selain itu, rasa senang
berwirausaha dan tetap dekat dengan kopi yang sudah ku kenal sejak masih SD
membuatku menjadi lebih bahagia lagi.
Waktu
kecil aku sering membantu ayah memanen dan menyajikan kopi. Ayah punya ladang
kopi dan kedai kopinya sendiri. Aku menyukai berbagai ragam kopi sejak masih
kecil. Ketika kuliah pun aku menyibukkan diri dengan bekerja sambilan di kedai
kopi. Maka ketika aku merantau di sini seorang diri, kedai kopi adalah wasilah
untuk aku bisa tetap mengingat asal muasalku.
Beberapa
bulan belakangan seorang pelanggan tetap datang ke kedai kopi kami dan aku
menyukainya. Laki-laki itu berkulit coklat khas orang pesisir pantai. Setiap
hari dia datang setelah waktu salat Zuhur di masjid selesai dan pergi begitu Azan
Ashar berkumandang. Setiap hari dia selalu datang dengan dua buah tas. Satu tas
ransel dan satu tas lagi dijinjing di tangannya.
Laki-laki
itu tidak pernah menentukan kopi apa yang ingin diminumnya. Selalu saja dia
menyerahkan kepada kami untuk menentukan kopi yang cocok untuknya. Aku selalu
mengganti jenis kopi yang dihidangkan untuknya dan dia selalu meminumnya tanpa
komplain.
“Terserah
kalian saja, satu!” Katanya sambil duduk lalu membuka laptop dan dilanjutkan
dengan mengetik entah apa. Jika dia tidak mengetik maka laki-laki itu akan
membuka buku dan membaca atau sesekali menulis entah apa pada buku yang
sepertinya buku catatan. Lucu sekali melihat dia menggunakan pena berwana
hitam, biru dan merah secara bergantian ketika mengisi buku catatan itu.
Aku
mencoba mencari tahu siapa laki-laki itu kepada para pelanggan tetapku tapi tak
ada yang mengenalnya. Setiap kali nongkrong di kedai kopiku dia hampir tidak
pernah menerima panggilan telepon atau membuka ponsel berlama-lama, itu membuat
aku sedikit penasaran bagaimana mungkin tidak ada yang mengenal sosok seperti
ini padahal kota ini kecil sekali.
Aku
saja yang baru dua tahun di kota ini merasa jika disini sumpek sekali. Aku bisa
bertemu orang yang sama di beberapa tempat dalam kurun waktu yang tak
berjauhan. Ketika aku makan di tempat makan, aku akan bertemu seseorang yang
aku tidak kenal. Lalu ketika aku salat ke masjid atau mengisi besin akan
bertemu orang yang sama. Kota ini kecil dan padat penduduk sekali.
“Kakak
suka ya sama abang itu?” Tanya Zuli suatu hari.
“Kenapa
bilang begitu?”
“Kakak
terus merhatiin dia.”
“Tampilannya
menarik, kupikir semua Perempuan akan menyukainya kan?”
“Aku
tanya namanya ya?”
“Berikan
makanan ini!” Kataku sambil meletakkan beberapa potong kue ke dalam piring.
Kedai kopiku memang tidak menyediakan makanan sama sekali. Sebelum ke kedai
kopi tadi aku sempat singgah ke toko roti untuk membeli beberapa kue. Rencanaya
aku akan memberikan roti itu sendiri kepada pelanggan yang kami masih belum
tahu namanya itu. Tapi setelah melihatnya aku tidak berani sehingga meminta
Zuli untuk mengantarnya menjadi opsi paling masuk akal bagiku.
“Silakan
dimakan, Bang. Gratis!” Ucap Zuli mengantarkan sepiring roti ke meja laki-laki
itu.
“Oh,
terima kasih!”
“Aku
Zuli bang, Pramusaji di sini. Nama abang siapa?” Tanya Zuli langsung. Aku
menepok jidatku dengan keterusterangan anak itu. Bagaimana bisa dia tidak gugup
berbicara dengan laki-laki yang sepertinya sangat misterius itu?
“Aku
Mahmud, salam kenal Zuli!”
“Abang
bukan orang sini?”
“Orang
sini!”
“Tapi
tidak ada yang mengenali abang!”
“Hampir
tujuh tahun aku di Jawa, kuliah dan mencari pengalaman.”
“Tapi
aslinya orang sini?”
“Iya,
aku lahir dan besar di sini!”
“Abang
kerja dimana?”
“Di
sini!” Ucap Mahmud sambil menunjuk laptopnya.
“Di
laptop?”
“Aku
penulis. Coba saja cara di google, Tengku Mahmud.”
Aku
yang mendengar percakapan itu langsung mencari Tengku Mahmud di google. Benar
saja! Dia seorang penulis novel terkenal. Beberapa novelnya best seller.
Jelas saja tak banyak orang yang mengenalnya karena memang disini budaya baca
sangat rendah. Akupun demikian, tidak terlalu suka membaca.
Pada
kesempatan lain Zuli kembali bertanya kepada Mahmud ketika dia akan membayar
kopinya.
“Itu
tas yang dijinjing isinya apa, Bang?”
“Ini
pakaian olahraga, aku akan ke masjid untuk salat Ashar lalu ke gym.”
“Wah.
Rajin sekali ya abang?”
“Tidak
juga, terima kasih untuk pisang gorengnya ya!”
Zuli
ingin mengatakan bahwa pisang goreng yang tadi di makan Mahmud adalah
pemberianku. Aku menghentikan bawahanku itu dengan menginjak kakinya. Zuli
meringis tapi mencoba tetap menyembunyikan agar Mahmud tidak tahu.
“Terima
kasih, Bang. Silakan datang lagi!”
“Besok
ada kudapan apa lagi?”
“Kudapan?”
“Itu
Bahasa Indonesia untuk snack!”
“Oh,
kudapan. Penulis memang beda!” Zuli tertawa disambut tawa yang lebih lepas oleh
Mahmud.
Begitu
Mahmud meninggalkan kedai kopi Zuli menggodaku.
“Cocok
sekali dengan Kakak. Kakak matematika, dia bahasa! Rajin olahraga, salat ke
masjid, Langsung kejar saja, Kak.”
“Mana
mungkin perempuan yang mulai. Malulah!”
“Itu
zaman kuno, Kak! Kalau memang suka ya dilanjut saja!”
Aku
diam tak menanggapi godaan dari Zuli. Aku tahu bahwa bukan zamannya lagi perempuan
menunggu. Tapi ternyata untuk memulai sesuatu seperti itu tetap tidak semudah
yang dikatakan oleh orang-orang. Masih ada ego besar dalam pikiranku yang
mengatakan bahwa aku seharusnya diperjuangkan bukan sebaliknya.
Hari
itu Mahmud datang lagi, tapi dia tidak membawa tas apapun ke sana. Tidak
seperti biasa dimana dia menyerahkan pilihan kopinya kepada ku, dia memasan
espresso. Begitu aku akan melangkah ke arahnya Mahmud mencegah lalu berjalan
mendekatiku.
“Boleh
aku duduk di sini?”
“Silakan.”
“Semalam
tutup karena Zuli menikah, kan?”
“Iya.
Kamu juga diundang, kan?”
“Iya
tapi aku tidak bisa hadir. Oh ya, Apakah dia akan tetap kerja di sini?”
“Tidak.
Aku sedang mencari pengganti.”
“Oh,
syukurlah. Aku tidak harus pindah kedai kopi. Aku sudah cukup cocok dengan rasa
kopi dan suasana di sini!”
“Memangnya
kenapa?”
“Aku
orang yang cukup sentimentil.”
“Maksudnya?”
“Bagiku
tidak akan nyaman meminum kopi jika Zuli masih bekerja di sini. Kopi apapun
pasti tidak enak ketika diminum dihadapan orang yang disukai tapi rasa suka
kita hanya bertepuk sebelah tangan, kan?”
“Kau
menyukai Zuli?”
“Beberapa
hari yang lalu sebelum dia cuti itu aku datang sebelum Zuhur. Maksud hati aku
ingin meminta nomor teleponnya tapi dia memberikanku undangan lebih dulu.
Selama ini aku tidak punya banyak teman dan hidup lebih banyak menyendiri. Aku
berpikir bahwa hidupku butuh orang-orang riang seperti Zuli. Jujur saja tawanya
yang renyah membuat aku sering membayangkan betapa bahagianya hidup dengan
orang semenyenangkan itu.”
“Oh,
iya, dia memang periang!”
“Tapi
begitulah Tuhan. Dia memasukkan rasa cinta kedalam hati kita untuk kemudian
dipatahkan. Bagaimana denganmu?”
“Aku?”
“Kau sepertinya sama dengan aku, pendiam, tidak banyak bicara dan sibuk dengan duniamu sendiri. Aku benarkan bahwa orang seperti kita memang butuh sosok periang seperti Zuli untuk membuat keseimbangan dalam hidup kita?”
Aku mengangguk namun dalam hatiku “Tidak, aku butuhnya kau!”

Komentar
Posting Komentar