Pelanggan, Pramusaji dan Pemilik Kedai Kopi : Harian SIB, 23 Juni 2024

Pelanggan, Pramusaji, dan Pemilik Kedai Kopi

Eza Budiono





Dua tahun sudah aku menetap di kota ini. Kota pesisir kecil yang siang dan malamnya selalu saja panas. Kota ini kecil sekali hingga hanya butuh waktu setengah jam dengan sepeda motor untuk dapat mengelilinginya. Dua tahun yang lalu, aku lulus sebagai Pegawai Negeri Sipil dan ditempatkan di SMP Negeri 4 sebagai guru matematika.

Tapi yang menarik dari kota ini adalah kebiasaan orang-orangnya meminum kopi. Tua, muda, pagi, sore, malam kegiatan minum kopi seakan menjadi budaya. Apalagi ngopi mereka selalu diiringi dengan kebiasaan yang sangat ku sukai yaitu bakombur. Bakombur itu bercerita, tapi di kota ini bercerita menjadi sangat menyenangkan karena orangnya yang ramah dan selalu memberikan respek baik kepada lawan bicara.

Namaku Agni dan sudah setahun lebih aku membuka kedai kopi di Tanah Melayu ini. Kedai kopi modern milikku mencoba untuk bersaing dengan banyaknya kedai kopi modern lainnya. Beruntung karena kebiasaan minum kopi tadi, aku sudah punya pelanggan tetap hingga hari ini.

Aku menerima seorang pramusaji bernama Zuliatri untuk membantuku di kedai kopi. Zuli akan membuka kedai kopi sekitar jam sepuluh pagi. Aku baru bisa membantu pada jam satu siang setelah pulang mengajar. Penghasilan dari kedai kopi ini memang cukup besar dibandingkan dengan gaji PNS, tapi selain itu, rasa senang berwirausaha dan tetap dekat dengan kopi yang sudah ku kenal sejak masih SD membuatku menjadi lebih bahagia lagi.

Waktu kecil aku sering membantu ayah memanen dan menyajikan kopi. Ayah punya ladang kopi dan kedai kopinya sendiri. Aku menyukai berbagai ragam kopi sejak masih kecil. Ketika kuliah pun aku menyibukkan diri dengan bekerja sambilan di kedai kopi. Maka ketika aku merantau di sini seorang diri, kedai kopi adalah wasilah untuk aku bisa tetap mengingat asal muasalku.

Beberapa bulan belakangan seorang pelanggan tetap datang ke kedai kopi kami dan aku menyukainya. Laki-laki itu berkulit coklat khas orang pesisir pantai. Setiap hari dia datang setelah waktu salat Zuhur di masjid selesai dan pergi begitu Azan Ashar berkumandang. Setiap hari dia selalu datang dengan dua buah tas. Satu tas ransel dan satu tas lagi dijinjing di tangannya.

Laki-laki itu tidak pernah menentukan kopi apa yang ingin diminumnya. Selalu saja dia menyerahkan kepada kami untuk menentukan kopi yang cocok untuknya. Aku selalu mengganti jenis kopi yang dihidangkan untuknya dan dia selalu meminumnya tanpa komplain.

“Terserah kalian saja, satu!” Katanya sambil duduk lalu membuka laptop dan dilanjutkan dengan mengetik entah apa. Jika dia tidak mengetik maka laki-laki itu akan membuka buku dan membaca atau sesekali menulis entah apa pada buku yang sepertinya buku catatan. Lucu sekali melihat dia menggunakan pena berwana hitam, biru dan merah secara bergantian ketika mengisi buku catatan itu.

Aku mencoba mencari tahu siapa laki-laki itu kepada para pelanggan tetapku tapi tak ada yang mengenalnya. Setiap kali nongkrong di kedai kopiku dia hampir tidak pernah menerima panggilan telepon atau membuka ponsel berlama-lama, itu membuat aku sedikit penasaran bagaimana mungkin tidak ada yang mengenal sosok seperti ini padahal kota ini kecil sekali.

Aku saja yang baru dua tahun di kota ini merasa jika disini sumpek sekali. Aku bisa bertemu orang yang sama di beberapa tempat dalam kurun waktu yang tak berjauhan. Ketika aku makan di tempat makan, aku akan bertemu seseorang yang aku tidak kenal. Lalu ketika aku salat ke masjid atau mengisi besin akan bertemu orang yang sama. Kota ini kecil dan padat penduduk sekali.

“Kakak suka ya sama abang itu?” Tanya Zuli suatu hari.

“Kenapa bilang begitu?”

“Kakak terus merhatiin dia.”

“Tampilannya menarik, kupikir semua Perempuan akan menyukainya kan?”

“Aku tanya namanya ya?”

“Berikan makanan ini!” Kataku sambil meletakkan beberapa potong kue ke dalam piring. Kedai kopiku memang tidak menyediakan makanan sama sekali. Sebelum ke kedai kopi tadi aku sempat singgah ke toko roti untuk membeli beberapa kue. Rencanaya aku akan memberikan roti itu sendiri kepada pelanggan yang kami masih belum tahu namanya itu. Tapi setelah melihatnya aku tidak berani sehingga meminta Zuli untuk mengantarnya menjadi opsi paling masuk akal bagiku.

“Silakan dimakan, Bang. Gratis!” Ucap Zuli mengantarkan sepiring roti ke meja laki-laki itu.

“Oh, terima kasih!”

“Aku Zuli bang, Pramusaji di sini. Nama abang siapa?” Tanya Zuli langsung. Aku menepok jidatku dengan keterusterangan anak itu. Bagaimana bisa dia tidak gugup berbicara dengan laki-laki yang sepertinya sangat misterius itu?

“Aku Mahmud, salam kenal Zuli!”

“Abang bukan orang sini?”

“Orang sini!”

“Tapi tidak ada yang mengenali abang!”

“Hampir tujuh tahun aku di Jawa, kuliah dan mencari pengalaman.”

“Tapi aslinya orang sini?”

“Iya, aku lahir dan besar di sini!”

“Abang kerja dimana?”

“Di sini!” Ucap Mahmud sambil menunjuk laptopnya.

“Di laptop?”

“Aku penulis. Coba saja cara di google, Tengku Mahmud.”

Aku yang mendengar percakapan itu langsung mencari Tengku Mahmud di google. Benar saja! Dia seorang penulis novel terkenal. Beberapa novelnya best seller. Jelas saja tak banyak orang yang mengenalnya karena memang disini budaya baca sangat rendah. Akupun demikian, tidak terlalu suka membaca.

Pada kesempatan lain Zuli kembali bertanya kepada Mahmud ketika dia akan membayar kopinya.

“Itu tas yang dijinjing isinya apa, Bang?”

“Ini pakaian olahraga, aku akan ke masjid untuk salat Ashar lalu ke gym.”

“Wah. Rajin sekali ya abang?”

“Tidak juga, terima kasih untuk pisang gorengnya ya!”

Zuli ingin mengatakan bahwa pisang goreng yang tadi di makan Mahmud adalah pemberianku. Aku menghentikan bawahanku itu dengan menginjak kakinya. Zuli meringis tapi mencoba tetap menyembunyikan agar Mahmud tidak tahu.

“Terima kasih, Bang. Silakan datang lagi!”

“Besok ada kudapan apa lagi?”

“Kudapan?”

“Itu Bahasa Indonesia untuk snack!

“Oh, kudapan. Penulis memang beda!” Zuli tertawa disambut tawa yang lebih lepas oleh Mahmud.

Begitu Mahmud meninggalkan kedai kopi Zuli menggodaku.

“Cocok sekali dengan Kakak. Kakak matematika, dia bahasa! Rajin olahraga, salat ke masjid, Langsung kejar saja, Kak.”

“Mana mungkin perempuan yang mulai. Malulah!”

“Itu zaman kuno, Kak! Kalau memang suka ya dilanjut saja!”

Aku diam tak menanggapi godaan dari Zuli. Aku tahu bahwa bukan zamannya lagi perempuan menunggu. Tapi ternyata untuk memulai sesuatu seperti itu tetap tidak semudah yang dikatakan oleh orang-orang. Masih ada ego besar dalam pikiranku yang mengatakan bahwa aku seharusnya diperjuangkan bukan sebaliknya.

Hari itu Mahmud datang lagi, tapi dia tidak membawa tas apapun ke sana. Tidak seperti biasa dimana dia menyerahkan pilihan kopinya kepada ku, dia memasan espresso. Begitu aku akan melangkah ke arahnya Mahmud mencegah lalu berjalan mendekatiku.

“Boleh aku duduk di sini?”

“Silakan.”

“Semalam tutup karena Zuli menikah, kan?”

“Iya. Kamu juga diundang, kan?”

“Iya tapi aku tidak bisa hadir. Oh ya, Apakah dia akan tetap kerja di sini?”

“Tidak. Aku sedang mencari pengganti.”

“Oh, syukurlah. Aku tidak harus pindah kedai kopi. Aku sudah cukup cocok dengan rasa kopi dan suasana di sini!”

“Memangnya kenapa?”

“Aku orang yang cukup sentimentil.”

“Maksudnya?”

“Bagiku tidak akan nyaman meminum kopi jika Zuli masih bekerja di sini. Kopi apapun pasti tidak enak ketika diminum dihadapan orang yang disukai tapi rasa suka kita hanya bertepuk sebelah tangan, kan?”

“Kau menyukai Zuli?”

“Beberapa hari yang lalu sebelum dia cuti itu aku datang sebelum Zuhur. Maksud hati aku ingin meminta nomor teleponnya tapi dia memberikanku undangan lebih dulu. Selama ini aku tidak punya banyak teman dan hidup lebih banyak menyendiri. Aku berpikir bahwa hidupku butuh orang-orang riang seperti Zuli. Jujur saja tawanya yang renyah membuat aku sering membayangkan betapa bahagianya hidup dengan orang semenyenangkan itu.”

“Oh, iya, dia memang periang!”

“Tapi begitulah Tuhan. Dia memasukkan rasa cinta kedalam hati kita untuk kemudian dipatahkan. Bagaimana denganmu?”

“Aku?”

“Kau sepertinya sama dengan aku, pendiam, tidak banyak bicara dan sibuk dengan duniamu sendiri. Aku benarkan bahwa orang seperti kita memang butuh sosok periang seperti Zuli untuk membuat keseimbangan dalam hidup kita?”

Aku mengangguk namun dalam hatiku “Tidak, aku butuhnya kau!”

Komentar