Bagaimana Hasan Senin menghadapi Dunia Pendidikan
Catatan 1 : Silakan Buat Perwa Kalau Berani
Eza Budiono
Saat
jam istirahat tadi, aku memerhatikan para guru honor sibuk memainkan laptop. Ini
hal yang jarang sekali terjadi. Apalagi setahuku, tiga guru honor di sekolahku
itu tidak mempunyai laptop.
“Sedang
apa kalian?” Aku bertanya sambil menghampiri dan terlihat jelas mereka menutup laman
yang sebelumya mereka buka.
“Tak
ada, Pak Hasan, mencari-cari informasi saja!” Ucap Rindi yang sudah tiga tahun
menjadi guru honor di sekolah kami.
“
Kalian menyembunyikan sesuatu dariku?”
“Tidak,
Pak?”
“Atau
aku bertanya langsung dengan kepala sekolah?”
“Sebenarnya
begini Pak.” Mustaqim, guru honor yang paling dekat denganku mulai berbicara. “Semalam,
kami diajak rapat di SD jalan Ambacang. Ada sebuah informasi yang diharapkan
Pak Hasan tidak boleh tahu. Kepala sekolah kita sampai memindahkan kami untuk
digabung rapat dengan SD Jalan Ambacang itu, hanya kami yang menumpang untuk
rapat, Pak.”
“Memangnya
ada hal apa?”
“Jadi,
Pak. Kan sudah delapan bulan intensif kami dari Pemerintah Kota tidak
dicairkan. Rencananya intensif itu akan dicairkan nanti sekaligus satu tahun di
bulan Desember nanti.”
“Itu
kan informasi yang bagus, mengapa aku tidak boleh tahu?”
“Masalahnya,
kami diwajibkan menyelesaikan minimal tiga topik di Platform Merdeka Mengajar,
Pak.”
“Astagfirullah,
ini intensif yang kalian dapat setiap tahun yang besarnya hanya dua ratus lima
puluh ribu itu kan?”
“Iya,
Pak.”
“Siapa
yang bilang kalian harus menyelesaiakannya tu. Biar ku datangi orangnya!”
“Nah
itu dia, Pak. Makanya kepala sekolah tidak mau bapak tahu. Kalau bapak tahu
sekarang kami betigalah yang tertuduh menceritakannya ke Bapak. Maka sudahlah,
Pak. Biarkan saja, kami coba kerjakanlah ini.”
“Bukan
begitu, Taqim. Kalian jangan asal mau mengerjakan tugas seperti itu. Silakan
mereka buat Perwanya kalau berani. Mereka juga pengecut, pasti intruksi itu
hanya diberikan dari mulut-mulut para penjilat saja. Mereka tak akan berani membuatnya
menjadi aturan tertulis karena takut dikuliti, takut ditelanjangi dan takut
dipermalukan.”
“Kami
tak tahulah, Pak. Tapi dua ratus lima puluh ribu untuk satu tahun adalah angka
yang lumayan bagi kami, Pak.”
“Siapa
yang memerintahkan itu?”
“Kepala
Dinas Pendidikan, Pak. Di sampaikan kepada pengawas sekolah dan mereka yang
menyampaikan kepada para kepala sekolah.”
“Terus
mengapa aku tidak boleh tahu?”
“Karena
waktu Guru Honorer dipaksa mengerjakan SKP di Platform Merdeka Mengajar saja
bapak sampai perang dengan orang-orang Pak. Di tambah lagi kalau seperti ini,
pasti bapak akan buat ceritanya menjadi ramai lagi.”
Aku
meninggalkan ketiga guru honor itu dan masuk kembali ke dalam kelas. Aku
menendang kursi dan membalik meja siswa untuk melampiaskan kekesalanku. Kelas
yang sudah dibersihkan siswa piket sebelum pulang tadi menjadi sedikit
berantakan.
“Anjing
memang!”
Delapan
bulan yang lalu Kementrian Pendidikan membuat sebuah kebijakan yang menurutku
sangat membantu para guru. Kementrian Pendidikan mengambil alih pengerjaan Sasaran
Kinerja Pegawai atau SKP ke Platform khusus milik Kemendikbud yaitu Platform
Merdeka mengajar atau PMM.
Pengelolan
Kinerja di PMM ini membuat para guru menjadi tidak harus bekerja dua kali. Aku
yang memang termasuk guru aktif di PMM menyambut hal itu dengan sangat baik.
Tapi setelah kampanye PMM itu para pejabat melalui pengawas sekolah mengatakan
bahwa para guru honorer juga harus mengerjakan Pengelolaan Kinerja di PMM itu.
Aku
langsung protes. Bagaimana mungkin mereka mengerjakan Pengelolaan Kinerja di
PMM itu sedangkan mereka bukan Pegawai Negeri. Padahal PMM itu merupakan
pengganti SKP dan SKP itu hanya dikerjakan oleh pegawai negeri.
Aku
bahkan sampai dituding takut kehilangan rejeki, takut kehilangan panggung dan
tudingan-tudingan lain ketika terus menyampaikan aspirasi tentang hal itu.
Kementrian Pendidikan tak sampai satu bulan kemudian mengeluarkan surat edaran
yang mengatakan para guru honor tidak mengerjakan pengelolaan kinerja di PMM
itu.
Tapi
apa lacur, para penjilat-penjilat yang punya jabatan itu tetap memerintahkan
para guru honor mengerjakan. Mereka menanamkan rasa takut kepada para guru
honor dengan menyamapaikan beberapa alasan yaitu.
1. Nanti
ada hubungannya dengan pengangkatan PPPK
2. Nanti
rapot sekolah menjadi jelek
3. Nanti
kepala sekolah menjadi tidak mendapatkan nilai
Akhirnya
si Para guru honorer yang takut di pecat itu mau tidak mau mengerjakan
Pengelolaan Kinerja dengan rasa terpaksa. Aku merasa cukup dengan perjuanganku
dan menghentikan protesku. Tapi protesku ku tutup dengan sebuah doa “Semoga
orang-orang yang membuat para guru honor mengerjakan Pengelolaan Kinerja PMM diberikan
keburukan dalam hidupnya.”
Sekarang tiba-tiba saja, mereka diminta untuk
mengerjakan Topik Pelatihan Mandiri di PMM dengan minimal tiga topik. Oh Tuhan,
kezoliman ini terus saja berlanjut. Bayangkan, gaji mereka mengajar hanya dua ratus
lima puluh ribu sebulan yang didapat dari kepala sekolah. Selanjutnya Pemerintah
Kota akan memberikan uang intensif dengan besaran yang sama. Jika ditotal gaji
mereka hanya lima ratus ribu sebulan tapi mereka diminta mengerjakan hal yang
bahkan tidak diwajibkan untuk orang-orang bergaji lebih tinggi.
Para
pengawas itu, lihatlah. Mereka juga ketika menjadi guru tidak mengerjakan
topik-topik pelatihan mandiri itu. Kenapa sekarang mereka getol sekali memaksa
orang untuk membuka PMM dan mengerjakannya. Apakah ini terkait dengan persentasi
PMM di kota kami yang masih paling
rendah daripada kota-kota lain?
Harusnya
gaji mereka ditambah, lima ratus ribu dengan tugas-tugas berat seorang guru
ditambah mengerjakan topik PMM yang memakan waktu adalah sebuah kezoliman. “Kau
kalo mau gaji intensif itu, kerjakan PMM. Gak mau, gak usah!” Kira-kira seperti
itu kan? Padahal sebelumnya, para guru honor mendapatkan intensif itu karena
mereka guru honor.
Kenapa
semua orang terkesan mendukung kebijakan zolim ini? Mereka membantu
menyampaikan, mensosialisasikan bahkan dengan sadar mengatakan hal ini sebagai
sebuah kewajaran. Apakah menurut mereka lima ratus ribu itu wajar? Sudah sangat
besar? Sudah sangat tinggi?
Apa
tak satupun dari mereka yang bisa bilang “Maaf Bu Kadis, ini kebijakannya zolim
sekali. Mereka hanya diberikan tambahan dua ratus lima puluh ribu tapi kita
memberikan mereka tugas yang bahkan tidak wajib oleh kemendikbud?”
Tapi
lihatlah, tak satupun dari mereka yang berani mengatakan itu. Semuanya hanya
bisa bilang “Siap, Bu Kadis!”
“Kami
akan laksanakan!”
Apa
yang mereka takutkan? Mereka takut kehilangan jabatan, label, atau mau dicap
sebagai orang yang tidak bisa diajak bekerja sama?
Jika
takut, mereka sebenarnya bisa bilang “Buk Kadis, supaya ini menjadi lebih tertatur,
bagaimana jika aturan itu kita perwakan?”
Bayangkan :
PNS kantor dapat tukin dibuktikan dengan Kinerja
PNS dapat uang disiplin dibuktikan dengan kehadiran dan kedisiplinan
Guru Sertifikasi dapat TPG dibukrikan dengan Sertifikat dan Alokasi Jam mengajar
Guru honor mendapatkan Intensif Honor adalah karena mereka guru honor, tapi angka yang kecil itu ditambahkan peraturan lagi : Guru honor yang mengerjakan topik.
Tak salah memang, tapi apakah ini pantas dilakukan?
Mereka
tidak berani bilang begitu karena jelas saja Kepala dinas juga takut membuat
hal itu kan? Dasar orang-orang pengecut, beraninya mengancam orang lemah
seperti guru honor. Mereka menyerang para guru honor dengan kelemahan mereka.
Aku
meneteskan air mata lagi. Gejolak di dadaku untuk menyuarakan hal ini
sebenarnya begitu tinggi. Tapi aku khawatir tiga guru honor di sekolahku mendapat
bulan-bulanan ketika aku kembali menyuarakannya. Lagi, aku hanya bisa berdoa “Semoga
orang-orang yang membuat kebijakan ini
diberikan keburukan oleh Tuhan.” Itupun jika tuhan memang ada.

Capek aku za. Apakah Ado yg mau? Kok Ado Moh Kito maenkan
BalasHapus