Ustaz Adek dan Boru Toba ---- Harian SIB 11 Agustus 2024

Ustaz  Adek dan Boru Toba

Eza Budiono


Sejak tadi malam Adek sudah keringat dingin. Padahal dia duduk persis di bawah pendingin ruangan di dalam kamarnya namun tangan dan kakinya terasa basah. Pukul sebelas tadi malam dia ditelepon oleh Ustaz Faisal,

“Rendi, tolong gantikan saya besok mengisi ceramah untuk siswa di SMA Negeri 5, ya.”

“Astagfirullah, kenapa saya Ustaz.” Ucap Rendi yang memang lebih dikenal dengan panggilan Adek karena merupakan anak paling kecil di keluarganya.

“Saya ini mendadak harus ke Medan membawakan orang tua sakit. Saya pikir kamu sudah layak untuk mulai mengisi ceramah seperti itu. Sudah lebih tujuh tahun kamu ngaji dengan saya, kan.”

“Maaf Ustaz, tapi saya hijrah dan belajar karena memang merasa itu kewajiban. Bukan untuk menjadi ustaz.”

“Saya minta tolong, ya. Gantikan saya besok!”

Kalimat terakhir yang bernada perintah itu tak bisa lagi ditolak oleh Adek. Berulang-ulang sebenarnya Ustaz Faisal meminta dia mulai berani untuk berceramah tapi Adek tidak pernah mau. Malam ini sepertinya Adek sudah tidak bisa lagi menolaknya.

Setelah salat subuh Adek kembali membaca garis besar materi yang langsung ditulisnya malam tadi. Dia telah melakukan simulasi ratusan kali di dalam kepalanya tentang materi yang akan disampaikan. Jam tujuh pagi Adek keluar dari rumah menuju ke SMA Negeri 5. Adek disambut oleh beberapa orang guru dan para siswa terlihat sedang duduk besila di halaman sekolah. Moderator memanggilnya lalu pelantang suara sudah berpindah ke tangannya.

Ketika Adek berdiri persis menghadap para siswa sesosok laki-laki yang dikenalnya berdiri dengan senyum mengembang. Itu Mahmud si Abang, dia dipanggil Abang karena merupakan anak sulung di keluarganya. Saking groginya untuk ceramah pagi ini, Adek lupa bahwa teman satu kosnya selama kuliah itu sudah menjadi PNS di SMA Negeri 5.

Adek mengusap keringat di wajahnya lantas melihat Abang yang menunjukkan dua jari jempolnya. Adek menarik napas dan langsung memulai ceramahnya. Dia juga akhirnya tersenyum, mengingat bagaimana Abang tahu betul kisah-kisah dirinya selagi masih jauh dari Islam.

Kejadian itu terjadi di semester tiga ketika Adek jatuh cinta pada seorang perempuan bermarga Nababan. Boru Nababan itu menjadi perempuan paling memesona dalam pandangan Adek. Adek pun tak sungkan menceritakan cintanya ini pada Abang. Abang saat itu terus mendorongnya untuk mengatakan cinta pada Aisyah Br Nababan itu. Adek tidak kunjung berani, Aisyah terlalu sempurna sedang dia merasa serba kekurangan.

Kisah cinta itu hanya berjalan sepihak ketika Adek menghabiskan hari-harinya hanya untuk mengamati Aisyah. Adek bahkan sampai hapal betul rutinitas Aisyah, tahu jadwal kuliahnya dan tahu tempat nongkrongnya. Jika Aisyah bisa dijadikan sebagai judul skripsi pastilah Adek tak menunggu tujuh tahun untuk tamat dari kampus.

Pertemuan mereka terjadi ketika keduanya terpilih menjadi panitia penerimaan siswa baru di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Medan. Adek yang merupakan mahasiswa jurusan PGSD berada di divisi acara dengan Aisyah yang mengambil jurusan BK. Adek yang selama ini cenderung tidak memerhatikan sekitar baru sadar bahwa ada bidadari di Fakultas Ilmu Pendidikan. Itu jatuh cinta pada pandangan pertama dan sejak saat itu Adek selalu berhasil membuat pertemuan mereka menjadi seolah tidak disengaja.

“Kita sering ketemua ya sekarang.” Ucap Aisyah pada suatu hari ketika Adek masuk kedalam kedai kopi yang sepuluh menit lalu telah dimasuki Aisyah lebih dulu.

“Iya ya, sepertinya begitu.” Ucap Adek mencoba senatural mungkin padahal sebenarnya ekor matanya telah mengikuti Aisyah sejak dari kampus.

“Jangan-jangan kita sebenarnya sering bertemu dari dulu namun baru ngerti karena baru kenal.”

“Bisa jadi.”

Setahun setelah masa pengamatan, pertemuan yang diatur oleh Adek dan percakapan-percakapan singkat di media sosial serta dorongan dari Abang membuat Adek memberanikan diri mengutarakan perasaannya.

“Terima kasih sudah mau bertemu denganku, Aisyah.”

“Iya, Ren. Toh kita beberapa kali minum kopi bersama walau tidak pernah disengaja, kan?”

“Tapi sebenarnya itu ku sengaja, aku memerhatikanmu dan membuat momen-momen itu menjadi seolah tidak disengaja.”

“Aku tahu, Ren. Aku tahu sekali.”

“Berarti kau tahu bahwa aku menyukaimu?”

“Aku menduga begitu, tapi aku mencoba untuk tidak memikirkannya. Menyukai, mencintai adalah hak semua orang kan?”

“Maksudnya?”

“Ketika aku mencintai seseorang maka itu adalah hakku. Asalkan aku tidak mengganggunya dengan cintaku maka itu tetap menjadi hakku.”

“Aku mencintaimu Aisyah Boru Nababan. Kau adalah Boru Toba paling cantik yang pernah kulihat. Maukah kau menjadi kekasihku?”

Aisyah meletakkan es kopi yang sedang diminumnya. Menegakkan tubuh kemudian mulai bebicara.

“Rendi, aku tahu kau orang baik. Caramu mencintai, membuat pertemuan-pertemuan yang seolah tak disengaja itu sungguh manis sekali. Akupun tentu saja sempat tertarik untuk memulai hubungan denganmu. Lelaki manis yang baik hati ini benar-benar berhasil memerlakukanku dengan nyaman. Tapi aku tidak berniat menjalin hubungan dengan seseorang sambil membuang salah satu prinsip hidupku.”

“Prinsip hidup?”

“Aku bukan rasis, ini merupakan pilihan hidup. Sebagai Boru Toba bermarga Nababan, aku ingin sekali bisa menikah dengan orang bermarga juga. Bukan aku mengatakan orang bermarga lebih baik daripada kau yang Orang Jawa. Orang Jawa jauh lebih hebat, semua presiden di Negara ini merupakan orang Jawa. Tapi aku punya cita-cita untuk menikah dengan orang Batak Toba dan akan mengusahakannya, Ren.”

Rendi pulang dengan kehampaan. Penolakan tegas dari Aisyah membuatnya tidak bisa berpikir dengan benar. Apakah Aisyah jahat karena telah menolaknya hanya karena dia orang Jawa. Atau malah dia yang jahat karena tidak bisa menghargai pilihan dari Aisyah itu?

Di kamar kos Adek menangis sejadi-jadinya. Abang yang menyaksikan itu tak tahu lagi bagaimana cara menenangkan Adek. Ketika malam semakin larut Rendi keluar dari kamar kos dan mengendarai sepeda motornya. Abang mencoba menghentikannya agar tidak pergi tapi Adek tidak peduli.

Besok paginya Rendi pulang dengan masih setengah teler. Di dalam ranselnya terdapat beberapa botol tuak dan kamput. Rendi pun menunjukkan tato baru di mata kaki kanannya bertuliskan Br Toba. Untuk beberapa hari kemudian Rendi hanya ditemani oleh tuak, kamput, tato Br Toba dan lagu Attenang dari Tio Elexis yang terus diputar ulang.

Ceramah Adek ditutup dengan gemilang. Hanya dua menit pertama dia grogi untuk selanjutnya dia berhasil menguasai panggung dan para jamaah menyukai cara dia berceramah. Selesai ceramah Adek langsung berjalan menghampiri Abang, mereka berjabat tangan dan berpelukan.

“Lup aku, Kau mengajar di sini.”

“Aku tak tahu kalau Kau yang jadi Ustaznya.”

“Jangan panggil ustazlah. Menggantikan Ustaz Faisal saja aku.”

“Ustaz Adek, keren kali lah Kau pokoknya.”

“Aduh, malu kali lah aku.”

“Jadi cemana, tato Boru Toba?” Abang terkekeh-kekeh setelah membisikkan kata-kata itu di telinga Ustaz Adek.

“Sudah hijrah kita, Bro. Boru Koto yang di rumah jauh lebih cantik.”



Komentar