Ustaz Adek dan Boru Toba
Eza Budiono
Sejak
tadi malam Adek sudah keringat dingin. Padahal dia duduk persis di bawah
pendingin ruangan di dalam kamarnya namun tangan dan kakinya terasa basah.
Pukul sebelas tadi malam dia ditelepon oleh Ustaz Faisal,
“Rendi,
tolong gantikan saya besok mengisi ceramah untuk siswa di SMA Negeri 5, ya.”
“Astagfirullah,
kenapa saya Ustaz.” Ucap Rendi yang memang lebih dikenal dengan panggilan Adek
karena merupakan anak paling kecil di keluarganya.
“Saya
ini mendadak harus ke Medan membawakan orang tua sakit. Saya pikir kamu sudah
layak untuk mulai mengisi ceramah seperti itu. Sudah lebih tujuh tahun kamu
ngaji dengan saya, kan.”
“Maaf
Ustaz, tapi saya hijrah dan belajar karena memang merasa itu kewajiban. Bukan
untuk menjadi ustaz.”
“Saya
minta tolong, ya. Gantikan saya besok!”
Kalimat
terakhir yang bernada perintah itu tak bisa lagi ditolak oleh Adek.
Berulang-ulang sebenarnya Ustaz Faisal meminta dia mulai berani untuk
berceramah tapi Adek tidak pernah mau. Malam ini sepertinya Adek sudah tidak
bisa lagi menolaknya.
Setelah
salat subuh Adek kembali membaca garis besar materi yang langsung ditulisnya
malam tadi. Dia telah melakukan simulasi ratusan kali di dalam kepalanya
tentang materi yang akan disampaikan. Jam tujuh pagi Adek keluar dari rumah menuju
ke SMA Negeri 5. Adek disambut oleh beberapa orang guru dan para siswa terlihat
sedang duduk besila di halaman sekolah. Moderator memanggilnya lalu pelantang
suara sudah berpindah ke tangannya.
Ketika
Adek berdiri persis menghadap para siswa sesosok laki-laki yang dikenalnya
berdiri dengan senyum mengembang. Itu Mahmud si Abang, dia dipanggil Abang
karena merupakan anak sulung di keluarganya. Saking groginya untuk ceramah pagi
ini, Adek lupa bahwa teman satu kosnya selama kuliah itu sudah menjadi PNS di
SMA Negeri 5.
Adek
mengusap keringat di wajahnya lantas melihat Abang yang menunjukkan dua jari
jempolnya. Adek menarik napas dan langsung memulai ceramahnya. Dia juga
akhirnya tersenyum, mengingat bagaimana Abang tahu betul kisah-kisah dirinya
selagi masih jauh dari Islam.
Kejadian
itu terjadi di semester tiga ketika Adek jatuh cinta pada seorang perempuan
bermarga Nababan. Boru Nababan itu menjadi perempuan paling memesona dalam
pandangan Adek. Adek pun tak sungkan menceritakan cintanya ini pada Abang.
Abang saat itu terus mendorongnya untuk mengatakan cinta pada Aisyah Br Nababan
itu. Adek tidak kunjung berani, Aisyah terlalu sempurna sedang dia merasa serba
kekurangan.
Kisah
cinta itu hanya berjalan sepihak ketika Adek menghabiskan hari-harinya hanya
untuk mengamati Aisyah. Adek bahkan sampai hapal betul rutinitas Aisyah, tahu
jadwal kuliahnya dan tahu tempat nongkrongnya. Jika Aisyah bisa dijadikan
sebagai judul skripsi pastilah Adek tak menunggu tujuh tahun untuk tamat dari
kampus.
Pertemuan
mereka terjadi ketika keduanya terpilih menjadi panitia penerimaan siswa baru
di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Medan. Adek yang merupakan
mahasiswa jurusan PGSD berada di divisi acara dengan Aisyah yang mengambil
jurusan BK. Adek yang selama ini cenderung tidak memerhatikan sekitar baru
sadar bahwa ada bidadari di Fakultas Ilmu Pendidikan. Itu jatuh cinta pada
pandangan pertama dan sejak saat itu Adek selalu berhasil membuat pertemuan
mereka menjadi seolah tidak disengaja.
“Kita
sering ketemua ya sekarang.” Ucap Aisyah pada suatu hari ketika Adek masuk
kedalam kedai kopi yang sepuluh menit lalu telah dimasuki Aisyah lebih dulu.
“Iya
ya, sepertinya begitu.” Ucap Adek mencoba senatural mungkin padahal sebenarnya
ekor matanya telah mengikuti Aisyah sejak dari kampus.
“Jangan-jangan
kita sebenarnya sering bertemu dari dulu namun baru ngerti karena baru kenal.”
“Bisa
jadi.”
Setahun
setelah masa pengamatan, pertemuan yang diatur oleh Adek dan
percakapan-percakapan singkat di media sosial serta dorongan dari Abang membuat
Adek memberanikan diri mengutarakan perasaannya.
“Terima
kasih sudah mau bertemu denganku, Aisyah.”
“Iya,
Ren. Toh kita beberapa kali minum kopi bersama walau tidak pernah disengaja,
kan?”
“Tapi
sebenarnya itu ku sengaja, aku memerhatikanmu dan membuat momen-momen itu
menjadi seolah tidak disengaja.”
“Aku
tahu, Ren. Aku tahu sekali.”
“Berarti
kau tahu bahwa aku menyukaimu?”
“Aku
menduga begitu, tapi aku mencoba untuk tidak memikirkannya. Menyukai, mencintai
adalah hak semua orang kan?”
“Maksudnya?”
“Ketika
aku mencintai seseorang maka itu adalah hakku. Asalkan aku tidak mengganggunya
dengan cintaku maka itu tetap menjadi hakku.”
“Aku
mencintaimu Aisyah Boru Nababan. Kau adalah Boru Toba paling cantik yang pernah
kulihat. Maukah kau menjadi kekasihku?”
Aisyah
meletakkan es kopi yang sedang diminumnya. Menegakkan tubuh kemudian mulai
bebicara.
“Rendi,
aku tahu kau orang baik. Caramu mencintai, membuat pertemuan-pertemuan yang
seolah tak disengaja itu sungguh manis sekali. Akupun tentu saja sempat
tertarik untuk memulai hubungan denganmu. Lelaki manis yang baik hati ini
benar-benar berhasil memerlakukanku dengan nyaman. Tapi aku tidak berniat
menjalin hubungan dengan seseorang sambil membuang salah satu prinsip hidupku.”
“Prinsip
hidup?”
“Aku
bukan rasis, ini merupakan pilihan hidup. Sebagai Boru Toba bermarga Nababan,
aku ingin sekali bisa menikah dengan orang bermarga juga. Bukan aku mengatakan
orang bermarga lebih baik daripada kau yang Orang Jawa. Orang Jawa jauh lebih
hebat, semua presiden di Negara ini merupakan orang Jawa. Tapi aku punya
cita-cita untuk menikah dengan orang Batak Toba dan akan mengusahakannya, Ren.”
Rendi
pulang dengan kehampaan. Penolakan tegas dari Aisyah membuatnya tidak bisa
berpikir dengan benar. Apakah Aisyah jahat karena telah menolaknya hanya karena
dia orang Jawa. Atau malah dia yang jahat karena tidak bisa menghargai pilihan
dari Aisyah itu?
Di
kamar kos Adek menangis sejadi-jadinya. Abang yang menyaksikan itu tak tahu
lagi bagaimana cara menenangkan Adek. Ketika malam semakin larut Rendi keluar
dari kamar kos dan mengendarai sepeda motornya. Abang mencoba menghentikannya
agar tidak pergi tapi Adek tidak peduli.
Besok
paginya Rendi pulang dengan masih setengah teler. Di dalam ranselnya terdapat
beberapa botol tuak dan kamput. Rendi pun menunjukkan tato baru di mata kaki
kanannya bertuliskan Br Toba. Untuk beberapa hari kemudian Rendi hanya ditemani
oleh tuak, kamput, tato Br Toba dan lagu Attenang dari Tio Elexis yang terus
diputar ulang.
Ceramah
Adek ditutup dengan gemilang. Hanya dua menit pertama dia grogi untuk
selanjutnya dia berhasil menguasai panggung dan para jamaah menyukai cara dia
berceramah. Selesai ceramah Adek langsung berjalan menghampiri Abang, mereka
berjabat tangan dan berpelukan.
“Lup
aku, Kau mengajar di sini.”
“Aku
tak tahu kalau Kau yang jadi Ustaznya.”
“Jangan
panggil ustazlah. Menggantikan Ustaz Faisal saja aku.”
“Ustaz
Adek, keren kali lah Kau pokoknya.”
“Aduh,
malu kali lah aku.”
“Jadi cemana, tato Boru Toba?” Abang terkekeh-kekeh setelah membisikkan kata-kata itu di telinga Ustaz Adek.
“Sudah hijrah kita, Bro. Boru Koto yang di rumah jauh lebih cantik.”

Komentar
Posting Komentar