Hal Seperti Ini yang Membuat Aku tidak Suka Menjadi Guru

 Hal Seperti Ini yang Membuat Aku tidak Suka Menjadi Guru

Eza Budiono


Begitu sampai ke sekolah aku syok! 
Banjir... Air pasang masuk ke dalam kelas. Kebetulan pula kelas paling ujung yaitu kelas 2A dan 2B menjadi yang paling parah. Bangunan lama, cekung dengan lembah berada di bagian belakang kelas, air tidak bisa keluar sendiri. Harus dikuras!

Hal seperti ini yang membuat aku tidak suka menjadi guru.


Pasalnya, bagiku ini tidak adil. Sebagai guru, aku tidak punya kuasa apapun untuk menyelesaikan masalah ini. Masalah banjir rob atau air pasang ini adalah sesuatu yang harus diselesaikan oleh orang yang memiliki wewenang lebih kuat. Aku tidak ikhlas membersihkannya. 


Seharusnya para pejabat membuat kebijakan yang tepat guna, tepat sasaran dan logis. Seperti yang dikatakan oleh Ignisius Jonan "Kalau mau perubahan, gak usah investasi yang gak penting itu!"
Harusnya para pejabat melakukan analisis, oh di daerah kita ada sekolah-sekolah yang setiap bulan terdampak banjir rob. Beberapa sekolah bahkan sangat parah. Untuk solusinya kita mungkin bisa membangun sekolah yang tinggi, meninggikan lantainya agar air tidak masuk ke dalam kelas. Setidaknya pembelajaran tetap bisa terlaksana. 

Para pejabat itu bisa memprioritaskan hal ini karena dia sudah terjadi berulang-ulang. Tapi apa lacur? yang dibangun adalah UKS untuk Taman Kanak-Kanak padahal setiap anak TK yang sakit pasti diantar pulang ke rumahnya. TK pun tak sanggup membayar tenaga kesehatan untuk mengisi UKS itu. Apa lagi yang dibangun? Pagar di sekolah yang sebenarnya tidak terlalu penting sebab sekolah itu berada di belakang sekolah lain. 

Maksudnya begini. Ada tiga unit sekolah di satu lokasi. Pagar sudah mengelilingi ketiga unit sekolah ini sehingga setidaknya aman dari maling. Namun sekolah yang terletak di belakang dibangun pagar pada batas tanah mereka. Okelah itu wajar, tapi apakah itu lebih urgen daripada meninggikan sekolah yang setiap bulan kemasukan air pasang?





Sebagai guru apa yang bisa kami lakukan?
Tidak ada!

Tolong, jangan kau samakan dengan sekolah-sekolah di daerah timur sana. Kau mau bilang "baru lagi itu, di Papua sana sekolahnya gak pakai atap."

Itu logika bodoh! Tolol! Dungu!
Jangan menjadikan sesuatu yang salah sebagai standar atas sesuatu.
 
Lucu sekali memang pola pikir orang-orang di negara ini. Giliran literasi, numerasi, dan segala macam dihitung dengan persentase lalu angka tinggi dijadikan patokan. Namun ketika kita melakukan protes tentang kebijakan yang dibandingkan adalah sesuatu yang keadaannya lebih rusak?

Sekolah-sekolah di timur itu harus dilayakkan.
begitupun sekolah-sekolah yang berada di pinggiran sungai yang setiap bulan terkena banjir rob. Harus diprioritaskan pembangunannya. 

Kecuali memang benar-benar tidak ada pembangunan. Keuangan benar-benar tak cukup. Tak ada kegiatan-kegiatan yang tak penting dilakukan. Maka mungkin kita bisa maklum dan mafhum. Tapi selama masih ada kegiatan yang tak urgent dilaksanakan, maka aku tetap tidak ikhlas. 

Aku tidak ikhlas membersihkan kelas dari banjir seperti ini. 
Ini bukan tanggung jawabku.
Tapi tentu saja harus ku lakukan.
Semoga ketidak ikhlasanku itu, sampai kepada orang-orang yang menentukan kebijakan sesuka hatinya. 
Entahlah.


Kemdikbud, 
Kalian menyuruh kami untuk melakukan asesmen diagnostik lalu membuat pembelajaran sesuai kebutuhan murid?
Sekarang, apakah kalian telah melakukan kebijakan-kebijakan sesuai dengan kebutuhan murid?


Eza Budiono
19 September 2024

Komentar