Undangan Lewat Mimpi - Harian SIB 15 September 2024

UNDANGAN LEWAT MIMPI

EZA BUDIONO



“Tolonglah, Din. Sudahlah marahnya, Ini sudah tiga hari, lo!”

“Aku gak marah!”

“Tapi kamu tidak balas pesanku.”

“Balas, kok!”

“Tapi pendek-pendek!”

“Itukan hakku, memangnya kenapa?”

“Aku minta maaf ya, Din!”

“Tak perlu minta maaf, tak ada yang salah juga!”

Perkara ini dimulai ketika Gunawan tidak singgah ke kantor Andini. Sore itu seharusnya seperti biasa, Gunawan mendatangi Andini dan kemudian pulang bersama. Meskipun defenisi pulang bersama bagi mereka berdua itu artinya hanya saling beriringan dengan sepeda motor, tapi itulah ritual yang setiap hari mereka lakukan dalam hubungan yang telah berjalan tiga tahun ini.

Hari itu Gunawan yang terlambat pulang hampir satu jam merasa tidak mungkin Andini masih menunggunya. Gunawan melaju hingga sampai di rumah. Ketika membuka ponsel dia baru melihat enam panggilan tidak terjawab dari Andini. Gunawan menelepon balik dan akhirnya mengetahui bahwa Andini masih menunggunya di kantor.

“Aku ke sana, tunggu ya!” Ucap Gunawan sambil berlari keluar dari kamar untuk mengambil sepeda motornya.

“Gak usah!” Andini menjawab ketus sambil mematikan panggilan secara sepihak.

Gunawan mencoba untuk menyusul Andini. Dia melalui jalan yang biasanya dilalui Andini untuk sampai ke rumah. Gunawan tidak menemukan Andini di sepanjang jalan begitupun di kantor. Gunawan mencoba menghubungi kekasih itu. Panggilan Gunawan tak kunjung diangkat. Gunawan mengangkat kepala menatap langit senja, dia tahu permasalahan ini akan panjang ceritanya.

“Din. Aku minta maaf ya, seharusnya aku memastikan kamu masih menunggu atau tidak.”

“Tidak usah dipermasalahkan!”

“Tapi kamu akan balas pesanku, kan?”

“Entah, kalau rajin!”

“Jangan begitu, mau sampai kapan kamu diamkan aku begini?”

“Kenapa? Capek? Kalau capek silakan pergi. Gak ada yang meminta kamu untuk mengirim pesan atau apapun!”

“Kamu juga pernah buat salah kan? Aku memafkan! Ketika aku naik pangkat dan bangga dengan pangkat itu kamu tidak mengucapkan apapun padaku. Beberapa bulan kemudian temanmu naik pangkat yang sama dan kamu sangat antusias dengan itu. Kamu bahkan mengajakku untuk mengunjungi temanmu itu agar bisa memberikan selamat secara langsung. Aku kecewa, tapi rasa marahku ku simpan agar hubungan kita bisa berjalan dengan baik.”

“Ohhh.. Sekarang kamu mau mengungkit segala yang sudah kamu lakukan?”

“Kamu pernah marah saat aku aktif di sebuah organisasi. Kamu bilang aku banyak omong karena mengatakan rindu tapi ketika ada waktu untuk bertemu malah sibuk organisasi. Aku keluar dari organisasi itu karena kamu marah kepadaku. Lalu suatu hari kamu sibuk dengan organisasimu dan aku komplain, kamu malah marah dan mengancam untuk meninggalkanku. Aku diam dan menerima kesibukanmu itu.”

Andini bangkit dari duduknya dan mencoba untuk pergi meninggalkan Gunawan. Gunawan tidak bangkit untuk menyusul. Andini membalik badan, ada rasa heran dalam hatinya karena Gunawan tidak bangkit dan tidak menahannya untuk pergi.

“Aku pernah membahas sebuah cafe dan mengatakan tempat makan itu enak dan recomended. Kamu mendesakku untuk tahu kapan dan dengan siapa aku pergi. Aku bilang pernah datang ke tempat itu dengan mantan kekasihku. Kamu merajuk sampai lima hari. Lima hari kemudian sambil tertawa kamu berkata hanya sedang bercanda, pura-pura merajuk dan menikmati setiap usaha membujuk yang aku lakukan. Aku tersenyum dan bersyukur karena akhirnya kamu tidak marah kepadaku. Suatu hari kamu mengupload foto dengan matan kekasihmu. Memang di foto itu tidak hanya kalian berdua tapi tetap saja mantan kekasihmu ada di dalamnya.”

“Halah, hanya gara-gara foto itu kamu mau ribut?”

“Yah, itulah jawabanmu. Persis sekali!”

“Apa yang mau kau sampaikan, Gun?”

“Kita berdua pernah berbuat salah. Setiap kali aku salah maka akan ada hal yang kau lakukan untukku. Setiap kali aku berbuat kelasahan maka akan muncul satu batasan darimu untuk hubungan kita. Tapi saat kau berbuat salah, aku tidak pernah bisa marah karena kau akan mengancamku dengan pergi. Kau seolah bilang jika aku tidak bisa menerima salahmu maka aku boleh pergi meninggalkanmu.”

“Ya sudah, kalau memang mau pergi, silakan!”

“Ya, aku akan pergi!”

Andini bangun dari tidurnya dengan bermandi keringat. Air matanya mengalir deras dengan degup jantung yang sangat tinggi. Andini mengambil ponsel, jam setengah tiga dini hari. Tidurnya baru sebentar, tidak sampai satu jam dan mimpi itu terasa begitu nyata. Andini mengambil bantal lalu menutup wajahnya untuk menangis sejadi-jadinya.

Ponselnya berdering, siapa pula yang mengirim pesan jam segini? Andini membuka ponsel itu masih dengan air mata yang mengalir deras. Susan, adik Gunawan mengirim pesan.

Kak, Mamak rindu kakak.

Hari ini peringatan 40 hari meninggalnya Bang Gunawan.

Kakak datang, ya

Merajuk hari kelima, Andini tak membalas pesan atau mengangkat panggilan dari Gunawan. Andini menunggu Gunawan di kantor. Gunawan yang hari itu kembali pulang terlambat merasa Andini telah pulang lebih dulu. Apalagi Andini masih merajuk dan biasanya dia tidak pernah menunggu Gunawan dalam kondisi merajuk seperti itu.

Gunawan pulang ke rumah lalu mendapati pesan yang dikirim dengan sebuah foto. Andini masih di kantor. Gunawan berlari ke arah sepeda motornya dan berkendara dengan kecepatan tinggi. Gunawan kecelakaan saat mencoba memotong sebuah truk di jalan dan disambut oleh sebuah mobil SUV. Gunawan meninggal di tempat.

Andini tidak sanggup menghadapi orang tua Gunawan. Dia sangat yakin cerita pertengkaran mereka tidak sampai kepada keluarga Gunawan. Tapi Andini benar-benar tak sanggup jika harus ketahuan bahwa dialah penyebab kematian kekasihnya itu. Gunawan adalah laki-laki yang sangat mencintainya dan Andini selalu tahu itu.

Hari ini Gunawan datang ke mimpinya, mengundangnya untuk datang menemui keluarganya pada peringatan kematiannya yang ke empat puluh hari. Ini Undangan dari mimpi. Air mata Andini mengalir deras, mulutnya mengeluarkan zikir dengan kalimat yang sama “Maafkan aku, Gun, maafkan aku!”

Komentar