“Tolonglah, Din. Sudahlah marahnya, Ini sudah tiga hari, lo!”
“Aku
gak marah!”
“Tapi
kamu tidak balas pesanku.”
“Balas,
kok!”
“Tapi
pendek-pendek!”
“Itukan
hakku, memangnya kenapa?”
“Aku
minta maaf ya, Din!”
“Tak
perlu minta maaf, tak ada yang salah juga!”
Perkara
ini dimulai ketika Gunawan tidak singgah ke kantor Andini. Sore itu seharusnya
seperti biasa, Gunawan mendatangi Andini dan kemudian pulang bersama. Meskipun
defenisi pulang bersama bagi mereka berdua itu artinya hanya saling beriringan
dengan sepeda motor, tapi itulah ritual yang setiap hari mereka lakukan dalam
hubungan yang telah berjalan tiga tahun ini.
Hari
itu Gunawan yang terlambat pulang hampir satu jam merasa tidak mungkin Andini
masih menunggunya. Gunawan melaju hingga sampai di rumah. Ketika membuka ponsel
dia baru melihat enam panggilan tidak terjawab dari Andini. Gunawan menelepon
balik dan akhirnya mengetahui bahwa Andini masih menunggunya di kantor.
“Aku
ke sana, tunggu ya!” Ucap Gunawan sambil berlari keluar dari kamar untuk
mengambil sepeda motornya.
“Gak
usah!” Andini menjawab ketus sambil mematikan panggilan secara sepihak.
Gunawan
mencoba untuk menyusul Andini. Dia melalui jalan yang biasanya dilalui Andini
untuk sampai ke rumah. Gunawan tidak menemukan Andini di sepanjang jalan
begitupun di kantor. Gunawan mencoba menghubungi kekasih itu. Panggilan Gunawan
tak kunjung diangkat. Gunawan mengangkat kepala menatap langit senja, dia tahu
permasalahan ini akan panjang ceritanya.
“Din.
Aku minta maaf ya, seharusnya aku memastikan kamu masih menunggu atau tidak.”
“Tidak
usah dipermasalahkan!”
“Tapi
kamu akan balas pesanku, kan?”
“Entah,
kalau rajin!”
“Jangan
begitu, mau sampai kapan kamu diamkan aku begini?”
“Kenapa?
Capek? Kalau capek silakan pergi. Gak ada yang meminta kamu untuk mengirim
pesan atau apapun!”
“Kamu
juga pernah buat salah kan? Aku memafkan! Ketika aku naik pangkat dan bangga
dengan pangkat itu kamu tidak mengucapkan apapun padaku. Beberapa bulan
kemudian temanmu naik pangkat yang sama dan kamu sangat antusias dengan itu.
Kamu bahkan mengajakku untuk mengunjungi temanmu itu agar bisa memberikan
selamat secara langsung. Aku kecewa, tapi rasa marahku ku simpan agar hubungan
kita bisa berjalan dengan baik.”
“Ohhh..
Sekarang kamu mau mengungkit segala yang sudah kamu lakukan?”
“Kamu
pernah marah saat aku aktif di sebuah organisasi. Kamu bilang aku banyak omong
karena mengatakan rindu tapi ketika ada waktu untuk bertemu malah sibuk
organisasi. Aku keluar dari organisasi itu karena kamu marah kepadaku. Lalu suatu
hari kamu sibuk dengan organisasimu dan aku komplain, kamu malah marah dan
mengancam untuk meninggalkanku. Aku diam dan menerima kesibukanmu itu.”
Andini
bangkit dari duduknya dan mencoba untuk pergi meninggalkan Gunawan. Gunawan
tidak bangkit untuk menyusul. Andini membalik badan, ada rasa heran dalam
hatinya karena Gunawan tidak bangkit dan tidak menahannya untuk pergi.
“Aku
pernah membahas sebuah cafe dan mengatakan tempat makan itu enak dan recomended.
Kamu mendesakku untuk tahu kapan dan dengan siapa aku pergi. Aku bilang pernah
datang ke tempat itu dengan mantan kekasihku. Kamu merajuk sampai lima hari.
Lima hari kemudian sambil tertawa kamu berkata hanya sedang bercanda, pura-pura
merajuk dan menikmati setiap usaha membujuk yang aku lakukan. Aku tersenyum dan
bersyukur karena akhirnya kamu tidak marah kepadaku. Suatu hari kamu mengupload
foto dengan matan kekasihmu. Memang di foto itu tidak hanya kalian berdua tapi
tetap saja mantan kekasihmu ada di dalamnya.”
“Halah,
hanya gara-gara foto itu kamu mau ribut?”
“Yah,
itulah jawabanmu. Persis sekali!”
“Apa
yang mau kau sampaikan, Gun?”
“Kita
berdua pernah berbuat salah. Setiap kali aku salah maka akan ada hal yang kau
lakukan untukku. Setiap kali aku berbuat kelasahan maka akan muncul satu
batasan darimu untuk hubungan kita. Tapi saat kau berbuat salah, aku tidak
pernah bisa marah karena kau akan mengancamku dengan pergi. Kau seolah bilang
jika aku tidak bisa menerima salahmu maka aku boleh pergi meninggalkanmu.”
“Ya
sudah, kalau memang mau pergi, silakan!”
“Ya,
aku akan pergi!”
Andini
bangun dari tidurnya dengan bermandi keringat. Air matanya mengalir deras
dengan degup jantung yang sangat tinggi. Andini mengambil ponsel, jam setengah
tiga dini hari. Tidurnya baru sebentar, tidak sampai satu jam dan mimpi itu
terasa begitu nyata. Andini mengambil bantal lalu menutup wajahnya untuk
menangis sejadi-jadinya.
Ponselnya
berdering, siapa pula yang mengirim pesan jam segini? Andini membuka ponsel itu
masih dengan air mata yang mengalir deras. Susan, adik Gunawan mengirim pesan.
Kak,
Mamak rindu kakak.
Hari
ini peringatan 40 hari meninggalnya Bang Gunawan.
Kakak
datang, ya
Merajuk
hari kelima, Andini tak membalas pesan atau mengangkat panggilan dari Gunawan.
Andini menunggu Gunawan di kantor. Gunawan yang hari itu kembali pulang
terlambat merasa Andini telah pulang lebih dulu. Apalagi Andini masih merajuk
dan biasanya dia tidak pernah menunggu Gunawan dalam kondisi merajuk seperti
itu.
Gunawan
pulang ke rumah lalu mendapati pesan yang dikirim dengan sebuah foto. Andini
masih di kantor. Gunawan berlari ke arah sepeda motornya dan berkendara dengan
kecepatan tinggi. Gunawan kecelakaan saat mencoba memotong sebuah truk di jalan
dan disambut oleh sebuah mobil SUV. Gunawan meninggal di tempat.
Andini
tidak sanggup menghadapi orang tua Gunawan. Dia sangat yakin cerita
pertengkaran mereka tidak sampai kepada keluarga Gunawan. Tapi Andini
benar-benar tak sanggup jika harus ketahuan bahwa dialah penyebab kematian
kekasihnya itu. Gunawan adalah laki-laki yang sangat mencintainya dan Andini
selalu tahu itu.
.jpeg)
Komentar
Posting Komentar